Di balik hamparan kebun zaitun dan ladang sayur yang menghijau di musim panen, terbentang kisah pilu dan keteguhan hati warga sebuah desa kecil di Gaza selatan—Absan al-Kabirah. Terletak 4 kilometer sebelah timur Kota Khan Younis, desa ini bukan hanya dikenal sebagai lumbung pertanian, tapi juga sebagai medan juang dan kuburan para syuhada.

Jejak Sejarah dan Darah

Sebagian sejarawan meyakini, nama desa ini terhubung dengan kabilah kuno Arab “Bani Abs” yang pernah menghuni Jazirah Arab sebelum datangnya Islam. Sejarah mencatat, pada masa Kesultanan Utsmani, nama Absan muncul dalam daftar pajak tahun 1596 dengan penduduk seluruhnya Muslim yang hidup dari hasil pertanian dan peternakan lebah.

Namun, lebih dari sekadar jejak nama di arsip lama, desa ini telah lama menjadi titik nyala perlawanan. Mulai dari era penjajahan Inggris, masa pendudukan Israel, hingga Perang Al-Aqsa Flood yang meletus pada 7 Oktober 2023—warga Absan tak pernah absen dari garis depan.

Di tanah ini pula, Komandan Brigade Izzuddin al-Qassam, Usamah Thabash, dilahirkan dan gugur sebagai syahid dalam serangan udara Israel pada 20 Maret 2025.

Diintai, Dihancurkan, Tapi Tak Pernah Ditaklukkan

Serangan Israel terhadap Absan al-Kabirah tak hanya sekali dua kali. Dalam setiap perang yang digencarkan penjajah ke Gaza, desa ini hampir tak pernah luput dari kehancuran akibat bombardir udara, artileri, maupun invasi darat.

Puncaknya terjadi saat tentara Israel menggempur Sekolah al-Awdah pada 9 Juli 2024. Setidaknya 29 warga gugur syahid dalam tragedi itu. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 1 Desember 2023, pasukan Zionis menyerbu masuk, memaksa ribuan warga mengungsi ke Rafah, membantai puluhan lainnya, dan menangkap sejumlah orang tanpa proses hukum.

Empat bulan kemudian, Israel mengumumkan penarikan pasukan dari desa ini—tapi hanya sementara. Pada 19 Maret 2025, tentara kembali menyebar ancaman pengosongan desa dan menggempur sejumlah titik pemukiman, menambah daftar panjang nama-nama yang gugur di tanah kelahiran mereka sendiri.

Tanah Subur yang Diserang karena Menopang Hidup

Absan al-Kabirah memiliki luas sekitar 16 ribu dunam (1 dunam = 1.000 meter persegi), dengan lebih dari 15 ribu dunam ditanami biji-bijian dan 1.500 dunam lahan irigasi. Desa ini menjadi sentra produksi pangan penting bagi Gaza dan bahkan menyuplai produk pertanian ke pasar-pasar di wilayah pendudukan dan Tepi Barat.

Dari tomat, mentimun, hingga bunga dan buah zaitun—hasil bumi dari Absan diperebutkan para pedagang grosir setiap hari Ahad di pasar mingguan desa ini. Namun, semua itu tak luput dari amarah penjajah. Pohon-pohon zaitun sengaja dicabut. Lahan-lahan dibakar atau diratakan dengan buldoser. Petani dijadikan target tembak.

Dari Ladang ke Medan Tempur

Tak hanya cangkul dan selang irigasi, warga Absan juga mengangkat senjata. Pada 11 November 2018, unit pengintai Brigade al-Qassam menggagalkan operasi penyusupan oleh pasukan komando elit Israel dari unit “Sayeret Matkal” yang hendak menanam alat mata-mata di jaringan komunikasi perlawanan di Khan Younis.

Sebelumnya, pada 8 Maret 2002, Jenderal Ahmad Hasan Abu Hamid gugur syahid dalam baku tembak sengit dengan pasukan Israel di desa ini.

Wajah Sosial dan Budaya

Dengan populasi sekitar 31.500 jiwa pada 2023, Absan al-Kabirah masih mempertahankan struktur sosial berbasis kekerabatan. Di antara klan besar yang menetap di sini adalah Qudeih, Thabash, Shawaf, Abu Daqa, Abu Diraz, dan Abu Tair. Kuatnya hubungan keluarga menjadi kekuatan bertahan warga di tengah krisis yang tak berkesudahan.

Meski industri di desa ini terbatas pada kerajinan ringan seperti furnitur, pintu-jendela, dan bata beton, sektor pertanian menjadi denyut utama kehidupan. Sistem irigasi modern berbasis sumur dalam menopang lahan-lahan rumah kaca seluas 1.000 dunam yang menghasilkan sayur dan buah sepanjang tahun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here