Dalam pernyataan yang mengejutkan dan memicu kemarahan banyak pihak, Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel, Mike Huckabee, menyatakan bahwa Washington tidak lagi sepenuhnya mendukung gagasan pembentukan negara Palestina di tanah Palestina. Sebaliknya, ia mengusulkan agar negara tersebut didirikan di wilayah lain, bukan di tanah yang kini diduduki Israel.

Dalam wawancaranya dengan Bloomberg yang dirilis Selasa (10/6), Huckabee mengatakan bahwa “selama tidak ada perubahan budaya besar-besaran, maka pendirian negara Palestina tidak mungkin terjadi.” Ia menambahkan, “perubahan itu mungkin tidak akan terjadi seumur hidup kita.”

Lebih lanjut, diplomat senior berusia 69 tahun ini bahkan menyarankan agar negara-negara Muslim menyumbangkan sebidang tanah untuk dijadikan lokasi negara Palestina.

Ia berkata, “Apakah harus di Yehuda dan Samaria?”—merujuk pada istilah yang biasa digunakan pemerintah Israel untuk menyebut wilayah Tepi Barat.

Palestina: Diminta Mengungsi dari Negeri Sendiri

Pernyataan tersebut dipandang sebagai penegasan kebijakan yang mendukung agenda kolonial Israel, dengan mengalihkan beban konflik ke negara lain.

Bagi rakyat Palestina, usulan ini adalah bentuk nyata penolakan terhadap hak mereka untuk merdeka di tanah leluhur mereka, sementara pembangunan permukiman ilegal Yahudi terus meluas dan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina makin brutal.

Ironisnya, pernyataan Huckabee datang menjelang konferensi internasional yang akan membahas solusi dua negara di New York, 17–21 Juni mendatang.

Konferensi ini dipimpin oleh Prancis dan Arab Saudi, sebagai bagian dari upaya menghentikan perang Israel di Gaza yang sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 55 ribu jiwa.

Dubes AS Beri Sinyal Dukungan untuk Netanyahu

Dalam kesempatan yang sama, Huckabee juga mengonfirmasi laporan bahwa ia telah bertemu dengan para pemimpin Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi) di Israel.

Dalam pertemuan itu, ia memperingatkan bahwa jika pemerintahan Netanyahu jatuh, hal tersebut akan dipandang negatif oleh masyarakat dan pemerintahan Amerika Serikat.

“Orang Amerika tidak akan memahami runtuhnya pemerintahan ini,” kata Huckabee, menambahkan bahwa hal tersebut akan dianggap sebagai simbol ketidakstabilan politik.

Pernyataan ini memicu reaksi keras dari kalangan oposisi, yang menilai bahwa duta besar AS telah ikut campur dalam urusan politik domestik Israel.

Netanyahu di Ujung Tanduk

Sementara itu, koalisi pemerintahan Netanyahu tengah diguncang ancaman dari partai-partai Haredi sendiri, yang mengultimatum akan membubarkan parlemen (Knesset) jika rancangan undang-undang yang membebaskan warga ultra-Ortodoks dari wajib militer tak segera disahkan.

Jika tak ada kejutan politik, parlemen Israel akan melakukan pemungutan suara awal pada Rabu (5/6) terhadap RUU pembubaran Knesset.

Jika RUU itu disahkan dalam tiga pembacaan, maka Israel akan menggelar pemilu dini.

Untuk tetap berkuasa, koalisi Netanyahu membutuhkan minimal 61 kursi di parlemen, dari total 120. Saat ini, mereka memegang 68 kursi, posisi yang sangat rapuh di tengah krisis politik dan perang yang belum berujung.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here