Situs berita Italia Inside Over mengungkap tantangan besar yang dihadapi militer Israel dalam menghadapi jaringan bawah tanah yang dibangun Hamas. Dalam laporan yang ditulis jurnalis Giuseppe Gagliano, disebutkan bahwa meski Israel telah mengerahkan balon mata-mata canggih di langit Gaza, upaya mereka memetakan jaringan terowongan Hamas sejauh ini belum membuahkan hasil signifikan.
Menurut laporan tersebut, Israel mengandalkan balon pengintai berteknologi tinggi untuk mendeteksi jalur-jalur bawah tanah yang rumit, yang menjadi keunggulan strategis Hamas dalam menghadapi agresi darat, udara, dan teknologi tinggi dari Tel Aviv.
Namun jaringan terowongan yang dikembangkan Hamas, dengan nilai investasi lebih dari satu miliar dolar, justru tetap menjadi “hantu bawah tanah” yang sulit ditangkap radar.
Labirin Bawah Tanah Hamas: Ancaman Nyata bagi Teknologi Israel
Jaringan terowongan ini diklaim militer Israel digunakan untuk menyembunyikan senjata, memindahkan pejuang, bahkan menyandera warga Israel sejak Operasi Badai Al-Aqsa.
Dalam situasi perang asimetris seperti di Gaza, jaringan terowongan memberikan keunggulan manuver yang membuat teknologi tinggi Israel tak berkutik.
Balon pengintai yang digunakan Israel, menurut laporan itu, bukanlah alat biasa. Mereka dipersenjatai dengan teknologi kecerdasan buatan mutakhir dan sensor bawah tanah untuk mendeteksi aktivitas di bawah permukaan.
Balon ini diproduksi oleh Sky Pearl, sebuah perusahaan rintisan yang didirikan oleh mantan insinyur Google X, divisi pengembangan teknologi futuristik Google.

Balon untuk Perang, Bukan untuk Pembangunan
Berbeda dari proyek-proyek masa lalu seperti balon Loon yang dirancang untuk menyebar internet di daerah terpencil, balon Sky Pearl dibuat bukan untuk membangun, melainkan untuk merusak. Tujuannya satu: memberikan Israel keunggulan strategis di medan pertempuran multi-dimensi.
Namun niat itu menabrak kenyataan. Ketika balon spionase ini menggantung di atas langit Gaza, ia membawa beban moral dan pertanyaan etis yang serius: seberapa tepatkah alat ini membedakan antara pejuang dan warga sipil? Dan lebih jauh lagi, seberapa besar risiko kehancuran yang dibawanya?
Laporan itu menyebut bahwa satu kesalahan dalam menyerang jalur bawah tanah bisa menyebabkan runtuhnya bangunan-bangunan di permukaan yang berjarak ratusan meter.
Sumber militer Israel sendiri mengakui potensi ini. Artinya, teknologi yang mereka banggakan justru berpotensi memperluas kehancuran yang mereka klaim ingin batasi.
Ketika Perang Dikendalikan Algoritma
Penulis juga menyoroti kecenderungan Israel mengubah teknologi sipil menjadi alat perang. Dari program AI kontroversial seperti Lavender dan The Gospel, hingga kini balon Sky Pearl, semuanya menunjukkan satu hal: semakin besar peran algoritma dalam menentukan hidup dan mati manusia di medan perang.
Lebih dari itu, proyek ini dibungkus dalam kabut ketertutupan intelijen. Tak ada transparansi, tak ada akuntabilitas. Dan dunia, sekali lagi, melihat bagaimana teknologi tak selalu digunakan untuk kemanusiaan, tapi untuk memperpanjang penjajahan dan agresi.
Hasil Masih Jauh dari Harapan
Meski telah mencoba drone, robot bawah tanah, sensor seismik, hingga pompa air untuk membanjiri terowongan, militer Israel belum berhasil menghancurkan sistem bawah tanah Hamas.
Balon mata-mata ini digadang-gadang sebagai titik balik, tapi sejauh ini, menurut laporan itu, hasilnya masih sangat terbatas.
Tantangannya bukan hanya pada teknologi, tetapi juga pada kemampuan menerjemahkan data menjadi tindakan yang tepat tanpa memperluas kehancuran. Dalam kondisi seperti ini, teknologi bukan penyelamat, ia bisa menjadi bumerang.