Meski gencatan senjata di Gaza telah disepakati, perjuangan hukum untuk menuntut keadilan bagi rakyat Palestina masih jauh dari kata selesai. Di tengah fase yang sensitif antara penghentian perang dan proses pertanggungjawaban, satu pertanyaan besar kembali mengemuka di meja hukum internasional: apa langkah berikutnya?
Dalam wawancara bersama Al Jazeera Net, pakar hukum internasional Abdul Majid Marari menegaskan bahwa tidak ada gencatan senjata bagi tim hukum Palestina di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Menurut dia, penyelidikan atas kejahatan perang Israel di Gaza harus terus didorong hingga para pelaku benar-benar dibawa ke pengadilan.
“Tidak ada istilah jeda hukum selama keadilan belum ditegakkan,” tegas Marari, yang kini menjabat Direktur Divisi Timur Tengah dan Afrika Utara di organisasi internasional FD.
Ia mengatakan, sekalipun pertempuran senjata berhenti, perjuangan hukum tetap berjalan. Gugatan, berkas penyelidikan, serta pelacakan pelaku kejahatan perang akan terus diajukan hingga korban, terutama anak-anak dan para ibu di Gaza, mendapatkan hak keadilan mereka.
“Gencatan Senjata Boleh Terjadi, Tapi Tidak untuk Hukum”
Marari menyambut baik kesepakatan gencatan senjata sebagai langkah menuju de-eskalasi, namun ia menegaskan:
“Gencatan ini tidak menghentikan pelacakan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian dan kelaparan massal di Gaza. Gencatan hanya akan dianggap nyata ketika para penjahat perang berada di balik jeruji besi.”
Ia juga menyebut adanya “gelombang hukum internasional” yang kini bergerak secara simultan di Eropa. Ia mencontohkan:
- Jaksa Agung Prancis, Spanyol, dan Inggris mulai membuka penyelidikan terhadap kejahatan Israel.
- Pengadilan Belanda bahkan memutuskan pembekuan hubungan militer—termasuk ekspor senjata—ke Israel.
“Kita sedang bergerak ke arah yang benar. ICC kini sadar bahwa apa yang terjadi di Gaza memenuhi unsur kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Meski situasi Gaza tampak memasuki fase tenang sementara, arus perlawanan hukum internasional kini justru memasuki babak baru yang lebih serius. Sejak 2008, tim pengacara internasional pro-Palestina telah menyiapkan berkas penyelidikan yang kini mulai memasuki tahap formal di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Menurut Abdul Majid Marari, perkembangan penting akan terjadi dalam beberapa pekan ke depan. Ia mengungkap rencana digelarnya pertemuan besar para pengacara internasional di Den Haag akhir Oktober ini, yang menjadi tonggak bagi peningkatan tekanan hukum terhadap Israel.
“Kami akan mengajukan berkas kasus tambahan ke ICC, termasuk kasus menyasar profesi tertentu yang menjadi target serangan, dokter, jurnalis, dan tenaga kemanusiaan,” ungkap Marari.
Israel Mulai Kalah di Meja Hukum Internasional
Meski Israel terus memanfaatkan dukungan politik dari Amerika Serikat dan sekutunya, Marari menegaskan bahwa secara hukum, Israel mulai kehilangan pijakan.
Ia menyebut dua indikator penting. Pertama, lebih dari 50 banding hukum Israel ditolak ICC. Kedua, Kantor-kantor kejaksaan di Eropa mulai bertindak tanpa tekanan politik
“Israel kehilangan legitimasi moral dan hukum. Yang tersisa hanyalah kekuatan militer. Tapi di ruang hukum, mereka kalah telak,” tegasnya.
Ia menyebut serangan Israel sebagai bentuk “kejatuhan moral” di hadapan dunia, “Israel memenangkan perang membunuh anak-anak, kelaparan massal, dan pengusiran rakyat. Tapi itu kemenangan yang hanya akan tercatat sebagai aib sejarah.”
Gelombang Gugatan Internasional
Lonjakan gugatan hukum terhadap Israel kini menjalar ke berbagai negara. Contohnya:
- Kejaksaan Paris membuka penyelidikan genosida berdasar gugatan seorang nenek asal Prancis yang kehilangan dua cucunya di Gaza.
- Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dan dua menterinya kini menghadapi gugatan resmi ke ICC karena diduga terlibat dalam kejahatan genosida melalui dukungan militer untuk Israel.
- Organisasi hak asasi di Inggris dan Spanyol melakukan hal serupa.
Marari menegaskan, “Statuta Roma jelas: tidak hanya pelaku genosida yang dihukum, tapi juga siapa pun yang membantu, memfasilitasi, atau membiarkan kejahatan itu terjadi.”
ICC di Bawah Tekanan: Jaksa Karim Khan Diserang, Tapi Proses Hukum Terus Bergerak
Di balik layar persidangan internasional, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) kini menghadapi gejolak internal yang berbahaya. Kredibilitas lembaga itu tengah diuji setelah Jaksa Karim Khan (tokoh yang berani mengeluarkan surat penangkapan terhadap petinggi Israel) dihantam tuduhan perilaku seksual tidak pantas.
Tuduhan itu membuat Khan mengundurkan diri sementara dari tugasnya hingga penyelidikan internal selesai. Namun, Marari menilai tuduhan itu bermuatan politik dan bagian dari kampanye sistematis untuk melemahkan ICC.
“Kami berpegang pada asas praduga tak bersalah. Tuduhan terhadap Karim Khan muncul setelah beberapa pihak memperingatkannya bahwa ia akan menjadi sasaran fitnah karena kasus Israel,” ujar Marari.
Ia memastikan bahwa meski Jaksa Karim Khan mundur sementara, agenda penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perang Israel tetap berjalan. Ia bahkan membocorkan informasi penting:
“Sebelum cuti, Karim Khan sudah menyelesaikan draf surat penangkapan terhadap dua pejabat senior Israel: Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir.”
Namun surat itu belum diumumkan ke publik karena terjadi perdebatan internal antara ruang pra-peradilan ICC dan kantor jaksa soal kerahasiaan dokumen tersebut.
Ancaman Terbuka dari Trump dan AS: Hukum Internasional Diperangi
Marari menjelaskan bahwa tekanan terhadap ICC mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dua anggota kongres Amerika secara terang-terangan mengancam ICC selama kunjungan resmi mereka. Bahkan Presiden AS Donald Trump pernah menyerang ICC secara pribadi.
“Tidak ada presiden atau negara yang berhak menghukum hakim atau jaksa ICC hanya karena mereka menegakkan hukum internasional. Pengadilan itu dibangun untuk menghukum para pelaku kejahatan perang, bukan sebaliknya,” jelas Marari.
Ia mengingatkan bahwa sistem hukum internasional sedang disandera oleh kekuatan politik global, dan kasus Palestina adalah ujian terbesar soal apakah keadilan masih punya ruang di dunia ini.
ICC Tidak Butuh Pujian, Butuh Perlindungan
Marari menegaskan ICC kini berada dalam zona merah. Tanpa dukungan internasional, lembaga itu bisa dilumpuhkan.
“ICC tidak punya pasukan, tidak punya polisi internasional. Ia hanya punya hukum sebagai senjata. Karena itu, negara-negara yang menjadi bagian dari Statuta Roma wajib membelanya,” tegas Marari.
Ia menyinggung contoh nyata lemahnya perlindungan terhadap aparat hukum internasional, “Mengapa Prancis tidak melindungi hakimnya sendiri yang mendapat ancaman pembunuhan karena menandatangani surat perintah penangkapan terhadap pejabat Israel?”
Standar Ganda di Meja Keadilan Internasional
Isu standar ganda menjadi luka lama yang kembali terbuka dalam kasus Palestina. Marari menyoroti bagaimana kasus Ukraina bergerak cepat di ICC, mendapat dukungan Eropa dan pendanaan besar, sementara kasus Palestina seakan sengaja diperlambat.
“Pengadilan bergerak cepat dalam kasus Ukraina karena ada dana. Ada negara yang menyediakan anggaran khusus, ada dukungan politik. Sementara dalam kasus Palestina, ICC tidak punya cukup sumber daya karena banyak negara enggan membiayai,” kata Marari.
Ia menegaskan bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada politik atau nilai ekonomi, apalagi tunduk pada tekanan diplomatik. Tetapi realitas hari ini, katanya, keadilan sedang dinegosiasikan di meja geopolitik.
Perlindungan Saksi dan Korban: Jika Bicara, Bisa Dibunuh
Isu serius lainnya adalah keamanan saksi dan korban. Ribuan dokumen, video pembantaian, kesaksian warga, termasuk tenaga medis dan wartawan Gaza, kini berada dalam proses investigasi ICC. Namun ancaman terhadap mereka nyata, bahkan mematikan.
“Banyak keluarga korban mendapat ancaman langsung setelah memberi kesaksian. Ada pula saksi yang dibunuh. Ini fakta. Israel tidak hanya menghancurkan bukti, tapi juga memburu suara yang menuntut keadilan,” ungkap Marari.
ICC, lanjutnya, tidak punya mekanisme perlindungan memadai bagi saksi dalam konflik intens seperti Gaza. Itu sebabnya banyak bukti dikirim secara rahasia, bahkan melalui jaringan advokat internasional yang bekerja tanpa sorotan.
Agenda Berikutnya: Palestina Membawa Perang Hukum ke Level Baru
Meski penuh tekanan, Marari memastikan proses hukum terus berjalan. Ia membocorkan adanya langkah besar baru yang segera diumumkan:
- Gelombang baru gugatan internasional melibatkan dokter, jurnalis, relawan kemanusiaan sebagai korban langsung.
- Pengungkapan data kuburan massal di Gaza dalam berkas resmi ICC.
- Sidang terbuka internasional soal penghilangan paksa dan penyiksaan tahanan Palestina.
- Petisi baru atas nama korban media, termasuk jurnalis Al Jazeera Anas al-Sharif yang syahid di Gaza, serta gugatan terpisah atas pembantaian keluarga Wail Dahdouh.
Perang Senjata Reda, Perang Hukum Berlanjut
Marari menegaskan satu hal yang tak terbantahkan, “Ada gencatan senjata di Gaza, tapi tidak ada gencatan senjata di ruang keadilan.”
Di mata dunia, Palestina mungkin tampak kalah dalam neraca kekuatan militer. Namun di ruang sidang internasional, Israel mulai kehilangan narasi, kehilangan legitimasi moral, dan mulai dipojokkan bukti-bukti kejahatan perangnya.
Perang ini kini memasuki babak baru, bukan lagi hanya perang di medan tempur, tapi perang di pengadilan sejarah. Dan di panggung itu, kebenaran tidak bisa lagi dibungkam.
Sumber: Al Jazeera