Dengan tatapan kosong yang menyimpan luka dan senyum yang tak pernah utuh, Mais Muhammad Abidin berdiri di antara puluhan anak lainnya, sebagian besar adalah yatim perang yang kehilangan ayah, ibu, atau keduanya akibat agresi militer Israel di Jalur Gaza.
Di kawasan Mawasi Khan Younis, wilayah pesisir yang kini menjadi tempat pengungsian terbesar di Gaza selatan, berdiri sebuah sekolah sederhana dari deretan tenda. Namanya Sekolah “Al-Amal” (Harapan). Sekolah darurat ini baru membuka delapan kelas, namun kehadirannya bak oase di tengah reruntuhan perang, membuka kembali pintu pendidikan bagi anak-anak yang masa kecilnya dirampas.
Mais (11 tahun) adalah salah satu dari mereka. Ia kini menjadi yatim setelah ayahnya Syahid akibat serangan rudal drone Israel pada bulan-bulan awal perang genosida pasca 7 Oktober 2023. Mais adalah bagian dari sekitar 40 ribu anak Gaza yang kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka.
Hidup di Tenda, Bersama Kenangan yang Terpendam di Reruntuhan
Sebelum perang, Mais tinggal di kawasan Batin as-Samin, Khan Younis. Namun ketika invasi Israel memasuki bulan ketiga, keluarganya terpaksa mengungsi. Rumah mereka hancur, kini hanya tinggal bongkahan beton bercampur ingatan.
Ayah Mais, seorang montir mobil, meninggalkan tenda pengungsian suatu hari untuk membantu seorang pengemudi yang mobilnya rusak di jalur pesisir. Ia berharap mendapat sedikit uang untuk menyambung hidup keluarganya. Ia tidak pernah kembali, jasadnya pulang sebagai syuhada.
“Ayah ingin aku jadi dokter gigi,” kata Mais lirih kepada Al Jazeera. “Aku datang ke sekolah ini supaya tetap belajar dan mewujudkan mimpi ayah. Aku ingin membuat senyum orang lain lebih baik.”
Namun perang membuat proses belajar menjadi kemewahan. Sekolah-sekolah di Gaza hancur atau berubah fungsi menjadi tempat pengungsian. Anak-anak menghabiskan hari mereka mengantre air, mencari roti, dan bertahan hidup.
Mais menunjukkan wajahnya yang gelap terbakar matahari. “Matahari membuat kulitku perih dan berubah. Tapi aku tetap sekolah,” ucapnya.

Ketabahan Ruba: Dari Duka Menjadi Tekad
Kisah serupa dialami Ruba Husain asy-Sya’ar, 11 tahun. Ia kehilangan ayah yang sebelumnya berjuang melawan kanker usus besar. Saat kondisi kesehatannya mulai membaik, sebuah peluru drone Israel kembali merenggut harapan keluarganya. Ayahnya Syahid sebelum sempat mendapatkan perawatan medis di luar Gaza, sebagaimana 17 ribu pasien kritis lain yang tertahan akibat ditutupnya Perbatasan Rafah oleh Israel.
Ruba kini hidup bersama ibu dan enam saudaranya di tenda pengungsian di Mawasi. Ia merindukan rumahnya, kamarnya, buku-buku sekolah, dan boneka kesayangannya yang kini terkubur di bawah reruntuhan.
“Sebelum perang, aku belum tahu ingin jadi apa,” ujarnya. “Tapi setelah ayah sakit dan Syahid, aku tahu Gaza butuh dokter. Rumah sakit hancur, dokter dibunuh, orang sakit tidak bisa berobat. Aku ingin belajar dan menggantikan mereka.”
Sekolah dari Tenda: Membangun Kembali Masa Depan
Sekolah Al-Amal kini menampung 1.150 pelajar pengungsi, 700 di antaranya adalah yatim. Mereka mengikuti program pendidikan darurat dan dukungan psikososial agar bisa memulihkan masa depan yang dirampas perang.
Menurut Ahmad Lafi, Direktur Pendidikan Rafah, “Lebih dari 70% sekolah di Gaza hancur total atau rusak berat. Di Rafah, tidak ada satu pun sekolah yang utuh. Proses belajar benar-benar lumpuh selama hampir dua tahun.”
Lafi menegaskan bahwa anak yatim adalah kelompok paling rentan karena kehilangan keluarga sekaligus akses pendidikan. Sekolah-sekolah darurat seperti Al-Amal menjadi upaya penyelamatan generasi Gaza.
Data kantor media pemerintah Gaza mencatat: Israel membunuh 22 ribu ayah dan 9 ribu ibu selama agresi, meninggalkan 40 ribu anak yatim, generasi yang kini bertahan, belajar, dan mencoba membangun harapan di tengah reruntuhan.