Undangan Universitas Indonesia (UI) kepada akademisi Amerika, Peter Berkowitz, untuk berbicara di Orientasi Program Pascasarjana 2025, memicu kehebohan publik. Polemik ini bermula dari unggahan akun X (Twitter) @kastratof, Sabtu (23/8/2025), yang menyebut Berkowitz sebagai “zionis dan pembela genosida Israel”.

Nama Berkowitz bukan sosok asing di kancah akademik internasional. Ia adalah Tad and Dianne Taube Senior Fellow di Hoover Institution, Stanford University, sekaligus dikenal sebagai salah satu intelektual yang paling lantang membela Israel. Lulusan Yale University ini pernah menjabat Direktur Policy Planning di Departemen Luar Negeri AS pada masa pemerintahan Donald Trump, posisi strategis yang membentuk rekam jejaknya dalam kebijakan luar negeri Amerika.

Namun, kontroversi terhadap Berkowitz terutama muncul dari karya-karyanya. Dalam bukunya Israel and the Struggle over the International Laws of War (2012), ia secara terbuka menolak tuduhan internasional terhadap Israel, termasuk kritik keras terhadap Goldstone Report. Baginya, operasi militer Israel merupakan bagian sah dari hukum perang. Kritik menyebut pandangan itu bias, karena menutup mata pada korban sipil Palestina.

Pola serupa tampak dalam tulisan-tulisan terbarunya di RealClearPolitics. Artikel “Explaining Israel’s Just War of Self-Defense to America” (Agustus 2024) menyebut serangan Israel pasca 7 Oktober sebagai “perang yang adil”. Disusul tulisan Desember 2024, “Disregarding Military Necessity to Accuse Israel of War Crimes”, di mana ia kembali menolak tuduhan genosida dengan berpegang pada doktrin “military necessity”.

Tidak hanya itu, Berkowitz juga berulang kali menyerang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang menurutnya bias terhadap Israel. Dalam esai lain, ia bahkan mendorong skenario “the day after” di Gaza, yang oleh banyak pengkritik dinilai lebih menekankan kepentingan strategis Israel ketimbang hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri.

Garis besar pemikirannya jelas: Israel selalu ditempatkan sebagai pihak sah yang bertahan hidup, sementara tuduhan kejahatan perang dipandang berlebihan atau politis. Bagi pengamat, ini bukan sekadar perdebatan akademik, melainkan representasi dari agenda pro-Zionis di ruang publik internasional.

Di sinilah letak sensitivitas undangan UI. Indonesia selama ini memiliki posisi politik tegas mendukung Palestina. Kehadiran sosok seperti Berkowitz dalam forum akademik nasional bukan hanya soal kebebasan akademik, tapi juga menimbulkan pertanyaan: apakah UI memberi ruang pada narasi yang justru berseberangan dengan sikap resmi bangsa ini?

Reaksi keras warganet memperlihatkan ketidaknyamanan publik. Mereka mempertanyakan urgensi menghadirkan figur yang dikenal membela agresi Israel di tengah situasi Palestina yang masih didera krisis kemanusiaan. Bagi banyak pihak, kasus ini bukan lagi soal siapa yang berbicara di podium UI, melainkan soal komitmen moral dunia pendidikan Indonesia terhadap nilai kemanusiaan dan solidaritas global.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here