Rencana terbaru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menduduki Kota Gaza kembali menuai sorotan luas dari media internasional. Analisis dari sejumlah surat kabar Inggris menilai, strategi itu sarat risiko, minim visi, dan berpotensi berbalik menjadi bumerang politik maupun militer bagi Tel Aviv.
Dilema Netanyahu: Hamas dan Sandera
Dalam laporannya, The Times menilai rencana Netanyahu nyaris mustahil berhasil. Alasannya sederhana tapi krusial: Israel tidak mungkin “melenyapkan” Hamas tanpa sekaligus membahayakan para sandera yang masih ditahan kelompok itu. Tanpa strategi penyelamatan yang jelas, setiap langkah militer hanya akan menambah tekanan politik di dalam negeri dan kecaman internasional.
Kritik lain yang mencuat adalah absennya visi pascaperang. Netanyahu dan koalisinya hingga kini menolak gagasan pembentukan otoritas sipil alternatif untuk memimpin Gaza. Kekosongan ini, menurut Times, adalah bukti nyata lemahnya strategi Israel: menguasai wilayah tanpa tahu apa yang akan dilakukan setelahnya.
Ketakutan Baru di Gaza
Sementara itu, Financial Times menyoroti keresahan masyarakat Gaza. Banyak warga meyakini bahwa rencana invasi bukan sekadar operasi militer, melainkan upaya terselubung untuk memaksa hampir satu juta orang meninggalkan kota secara permanen.
Hingga kini, sebagian besar warga tetap bertahan meski hidup dalam kondisi tanpa pilihan realistis. Usulan agar mereka berpindah ke selatan dipandang sebagai bagian dari strategi lama Israel yang berulang kali disuarakan politisi garis keras. Padahal wilayah selatan seperti Al-Mawasi dan Deir al-Balah sudah jauh melampaui kapasitas menampung pengungsi.
Krisis Kemanusiaan yang Terabaikan
Di sisi lain, The Guardian menegaskan bahwa pengumuman resmi PBB mengenai ancaman kelaparan massal di Gaza seharusnya menjadi titik balik perang. Namun, respon Israel justru memperlihatkan ketidakpekaan: mereka menyebut para korban “memang sudah sakit sebelumnya.”
Ironisnya, ancaman Israel berikutnya adalah operasi militer baru di Kota Gaza, pusat wilayah yang kini paling parah dilanda kelaparan, alih-alih menyetujui gencatan senjata atau membuka akses bantuan darurat.