Dalam bayang-bayang genosida yang terus berlangsung di Gaza, pasukan pendudukan Israel kembali meningkatkan eskalasi brutal di Tepi Barat. Dari Nablus hingga Hebron, tanah dirampas, rumah dirobohkan, dan warga sipil ditangkap tanpa alasan yang sah, sebuah rangkaian kejahatan sistematis yang terstruktur dan disengaja.
Tentara Israel bersama otoritas antikuitasnya memutuskan menyita lahan luas dari desa-desa seperti Sebastia, Burqa, dan Ramin di utara Tepi Barat, dengan dalih pembangunan “Taman Nasional Samaria.” Di balik nama itu tersembunyi ambisi kolonial yang telah dimulai sejak dua bulan lalu, taman itu membentang dari situs arkeologis Sebastia hingga wilayah al-Masoudiya yang telah dicap sebagai kawasan bersejarah oleh penjajah.
Di Nablus, pasukan Israel menyerbu desa Aqraba dan Beita. Di tempat lain, para pemukim bersenjata dengan perlindungan tentara menyerang warga Deir Ballut, Salfit. Mereka menembakkan semprotan merica, merampas ketenangan, dan mencoba menanamkan teror di jantung komunitas sipil.
Penangkapan dan Penghancuran
Lebih dari 15 warga Palestina kembali ditangkap dalam operasi penggerebekan dini hari yang meluas, menyasar Ramallah, Jenin, dan kamp pengungsi Askar. Sementara itu, di Tubas, alat berat Israel menghancurkan sekolah yang masih dalam tahap pembangunan di desa Aqabah, proyek ini semula didanai oleh lembaga Prancis. Aksi serupa terjadi di Beit Lahm, saat sebuah rumah dalam proses pembangunan di desa Artas diratakan dengan tanah karena dianggap “tidak memiliki izin.”
Namun semua orang tahu: izin dari otoritas pendudukan adalah utopia. Sejak awal, sistem telah dirancang untuk menolak keberadaan Palestina di tanahnya sendiri.
Data dari Otoritas Penentang Tembok dan Permukiman Palestina menunjukkan, sepanjang Juli saja, terjadi 75 aksi penghancuran yang menargetkan 122 bangunan, termasuk rumah tinggal, lahan pertanian, dan sumber penghidupan rakyat. Dalam enam bulan pertama 2025, tercatat 588 bangunan dihancurkan, meninggalkan luka bagi 843 warga, termasuk 411 anak-anak. Sebanyak 556 bangunan lainnya sudah dikirimi surat perintah pembongkaran.
Kekejaman Tanpa Batas
Perjanjian Oslo II yang sempat menjanjikan masa depan bersama, kini menjadi alat kontrol: membagi tanah Palestina ke dalam tiga zona, “A” di bawah otoritas Palestina, “B” di bawah kontrol bersama, dan “C” di bawah kendali penuh Israel. Di zona “C” inilah, penindasan diformalisasi. Bangunan Palestina tak bisa dibangun tanpa izin, namun izin itu mustahil didapat.
Sementara Gaza masih terkubur reruntuhan akibat genosida yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 (dengan lebih dari 210 ribu korban syahid dan luka-luka, mayoritas perempuan dan anak-anak) penjajahan terus berlanjut di Tepi Barat. Sedikitnya 1.013 warga Palestina telah dibunuh, 7.000 lainnya terluka, dan lebih dari 18.500 ditahan dalam gelombang kekerasan yang tak menunjukkan tanda akan reda.