Namanya Tamer Shahibar. Usianya baru 15 tahun. Tapi seperti ribuan anak Gaza lainnya, ia tak tumbuh dalam damai, melainkan mengering di pelukan ibunya, digerogoti oleh kelaparan yang diciptakan oleh tangan manusia, bukan bencana alam.

Selasa pagi (5/8), Tamer menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, pusat Jalur Gaza. Bukan karena serangan udara. Bukan karena rudal. Tapi karena perut kosong yang tak diisi selama berhari-hari, dan obat yang tak pernah tiba.

Saat tiba di rumah sakit, tubuh Tamer tinggal kulit membalut tulang. Tulang dada dan punggungnya menonjol, menyayat setiap mata yang memandang. Seorang tenaga medis menggambarkannya sebagai “lukisan tragis dari kebijakan pengepungan.”

Sang ibu memeluk jasad anaknya dengan tubuh lemah dan mata sembab. “Beberapa hari ini, kami tak bisa memberinya bahkan sepotong roti,” katanya. Ia tahu anaknya sakit. Tapi yang menamatkan hidup Tamer bukan penyakit, melainkan kelaparan dan dunia yang menutup mata.

Kisah Tamer adalah satu dari ratusan cerita serupa. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 188 warga Palestina telah wafat karena kelaparan sejak 7 Oktober 2023, setengahnya adalah anak-anak.

Program Pangan Dunia menggambarkan situasi Gaza sebagai “kondisi kelaparan dan keputusasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Sepertiga penduduk Gaza, kata mereka, tak makan selama beberapa hari. Namun, ribuan truk bantuan tetap tertahan di perbatasan. Israel menolak membiarkannya masuk, kecuali di bawah kendali mutlak.

PBB menyatakan bahwa Gaza membutuhkan ratusan truk bantuan setiap hari untuk mengakhiri kelaparan massal. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: sejak 2 Maret, Israel menutup semua pintu masuk bantuan. Hasilnya? Lapar menjadi senjata. Dan nyawa anak-anak seperti Tamer menjadi harga yang dibayar.

Lebih dari 211.000 warga Palestina menjadi korban genosida yang didukung penuh Amerika Serikat. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. 9.000 lainnya hilang tanpa jejak, tertimbun puing-puing atau terkubur diam dalam sunyi.

Tamer tak akan kembali. Tapi kisahnya adalah jeritan yang seharusnya menggugah dunia. Di Gaza, kematian tidak hanya datang dari ledakan. Ia juga datang perlahan, dalam wujud roti yang tak pernah ada.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here