Operasi militer besar-besaran Israel di Jalur Gaza yang diberi nama “Kereta Gideon” ternyata menjadi mimpi buruk tersendiri bagi militer pendudukan. Meskipun para jenderal Tel Aviv mengklaim telah mencapai tujuan dan menguasai 75% wilayah Gaza, kenyataan di lapangan dan pengakuan para analis Israel menunjukkan hal sebaliknya: ini adalah salah satu operasi paling gagal dalam sejarah militer Israel.

Militer Gagal Mencapai Tujuan Politik

Menurut pakar militer dan strategi Brigjen Elias Hanna, operasi ini tidak mampu menerjemahkan tujuan politik menjadi capaian militer nyata. Meski Israel mengerahkan kekuatan besar, hasilnya tidak sepadan. Klaim penguasaan atas 75% wilayah Gaza ternyata tidak menjamin kendali sebenarnya di lapangan. Dalam kenyataan, pejuang Palestina terus bertempur di Beit Hanoun, Shujaiyah, Khan Younis, bahkan di zona-zona perbatasan yang disebut “aman” oleh Israel.

Lebih dari itu, pada Kamis kemarin, roket-roket pejuang diluncurkan ke arah wilayah sekitar Gaza, membuktikan bahwa wilayah yang diklaim telah “dibersihkan” dari perlawanan ternyata masih menjadi basis serangan. Ini sekaligus membantah pernyataan militer Israel bahwa Gaza telah berada dalam genggaman mereka.

Elias Hanna juga menegaskan bahwa strategi militer Israel yang membagi Gaza menjadi zona-zona terpisah seperti Morag dan Magen Oz, hanya menunjukkan kegagalan mereka untuk mengendalikan wilayah secara menyeluruh. Bahkan, keberadaan pasukan Israel justru menciptakan lebih banyak target empuk bagi pejuang daripada rasa aman yang mereka klaim.

Dimensi Politik: Motif Ideologis Tanpa Visi Damai

Secara politik, banyak pengamat melihat bahwa “Kereta Gideon” bukanlah operasi militer yang matang, melainkan agenda ideologis yang bertujuan untuk menduduki seluruh Gaza dan mendorong warganya untuk mengungsi ke selatan, tanpa adanya horizon politik yang jelas.

Padahal, operasi ini diluncurkan dengan sokongan besar: pergantian Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Umum, pencabutan larangan ekspor senjata dari AS, serta anggaran militer besar yang digelontorkan dalam APBN Maret 2025. Namun semua itu gagal karena diluncurkan di waktu yang salah, menurut analis urusan Israel, Muhannad Mustafa.

Mustafa menjelaskan bahwa suasana politik dan sosial Israel pada Mei 2025 sangat berbeda dari Oktober 2023. Tak ada konsensus publik dan elite politik mengenai operasi ini. Karena dianggap sebagai operasi ideologis, bukan defensif, dukungan masyarakat pun lemah, dan itu menjadi penyebab utama kegagalan.

Fokus para perencana operasi pun dinilai keliru. Mereka lebih tertarik menjadikan operasi ini sebagai alat pencapaian politik di Gaza — bukan sebagai upaya pembebasan tawanan, bukan untuk menghentikan perang, dan bukan untuk membuka pintu negosiasi. Akhirnya, tanpa pijakan politik dan militer yang kokoh, operasi ini gagal total.

Militer Israel Alami Kelelahan Akut

Secara militer, tentara Israel kini mengalami kelelahan struktural. Setelah 21 bulan perang nonstop, mereka kehabisan tenaga, persenjataan, dan semangat. Tak hanya personel, bahkan peralatan dan amunisi mereka pun butuh perombakan total.

Menurut Elias Hanna, inilah sebab utama mengapa Gaza menjadi beban besar dan penghalang utama bagi ambisi regional Israel. Peperangan di wilayah seluas hanya 365 km² ini bukanlah perang gerilya biasa seperti yang sering disebut Israel, tapi perang kota yang brutal, kompleks, dan menguras seluruh daya tempur.

Setelah serangan 7 Oktober 2023, strategi militer Israel memang berubah total. Mereka mengadopsi pendekatan keamanan baru yang menuntut kapasitas besar, tapi kemampuan mereka tidak lagi mampu menanggung beban ini. Israel harus merombak total strukturnya, memperkuat pasukan, dan mengubah strategi jika ingin bertahan.

Tujuan “Kereta Gideon”: Paksakan Perjanjian Tahanan dan Hancurkan Perlawanan

Awal Mei 2025, kabinet keamanan Israel (kabinét) mengesahkan rencana operasi “Kereta Gideon”. Tujuannya jelas: menciptakan kemenangan militer dan politik lewat tiga tahap operasi besar, dengan menekan Hamas melalui lima jalur sekaligus — termasuk serangan darat dan tekanan ekonomi — guna memaksa mereka menerima kesepakatan pertukaran tawanan dan pembongkaran sistem militernya.

Pasukan cadangan besar pun dipanggil. Media resmi Israel menyebut bahwa targetnya adalah pendudukan penuh atas Jalur Gaza. Namun, seperti yang kini terlihat jelas, yang terjadi justru sebaliknya: perlawanan justru menguat, legitimasi operasi runtuh, dan harapan kemenangan berganti jadi kegagalan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here