Hingga kini, belum jelas bagaimana akhir dari perang antara Israel dan Iran. Namun satu hal yang pasti: bunker dan ruang perlindungan kini kembali menjadi sorotan, bukan sebagai simbol keamanan, melainkan sebagai bukti telanjang dari ketidaksiapan Israel dalam melindungi warganya.

Dari ruang bawah tanah yang ditelantarkan selama puluhan tahun hingga ruangan pengap yang kini menjadi rebutan, rakyat Israel mendadak kembali ke realitas pahit: mereka tidak siap. Ancaman rudal Iran, yang lebih presisi dan lebih merusak dibanding serangan sebelumnya dari Hamas atau Houthi, telah mengubah aturan permainan. Tak lagi cukup berlindung di tangga atau ruang dalam, mereka butuh tempat aman yang nyatanya tak tersedia.

Bunker Tua dan Tak Layak Pakai

Di kota-kota besar seperti Tel Aviv, Haifa, dan Al-Quds, serta di pemukiman dekat garis pertempuran, ribuan orang berlarian mencari perlindungan. Tapi yang mereka temukan hanyalah bunker-bunker kumuh—banyak yang terkunci, sebagian penuh sampah, dan sebagian lagi tak layak huni. Bukannya tempat perlindungan, bunker-bunker itu kini menjadi simbol ketimpangan dalam akses keselamatan.

Insiden mematikan di Petah Tikva (kota yang dibangun di atas reruntuhan desa Palestina Mlabes) menambah kepanikan. Sepasang suami istri tewas seketika karena bunker yang mereka masuki justru terkena hantaman langsung rudal.

Selama beberapa dekade, pemerintah Israel secara perlahan menarik tanggung jawab pembangunan dan pemeliharaan bunker. Perlindungan menjadi “hak istimewa” bagi mereka yang mampu membeli rumah dengan safe room pribadi. Sisanya, termasuk kalangan miskin dan warga Palestina—harus bertaruh nyawa di bunker umum yang buruk kondisinya.

Laporan resmi tahun 2018 menyebut hanya 38% warga Israel yang memiliki bunker pribadi. Sisanya bergantung pada tempat perlindungan umum yang sudah usang, jika pun ada.

Bencana Kemanusiaan di Tengah “Negara Maju”

Perang dengan Iran memperjelas ketimpangan itu. Banyak warga terpaksa lari bermil-mil untuk menemukan tempat perlindungan. Yang sampai pun mengeluh soal ruangan pengap, kekurangan air, bahkan tanpa penerangan. Di Kota Bnei Brak, sejumlah warga mendapati bahwa semua bunker terkunci. Ketika rudal menghantam sekolah di kota itu, tak ada tempat berlindung yang bisa diakses.

Banyak bunker berubah fungsi: jadi gudang, ruang kelas, atau tempat ibadah. Warga terpaksa membongkar gembok dengan kapak, setelah permintaan mereka tak digubris pemerintah kota. Anggota dewan lokal menyebut ini sebagai “aib nasional”.

Anat Georgi, editor The Marker Week, menyebut kondisi ini sebagai “kegagalan struktural”. Menurutnya, Iran bukan hanya membangkitkan kembali ancaman rudal, tetapi juga membongkar kelalaian lama negara dalam menyiapkan pertahanan sipil.

Georgi menceritakan bagaimana masyarakat terpaksa membersihkan bunker secara swadaya. Di media sosial, beredar cerita memilukan: seorang wanita tua ditolak masuk bunker karena bukan penghuni gedung. Di pintu bunker, tertulis: “Khusus penghuni. Tamu dilarang masuk.”

Antara Yang Kaya dan Yang Tertinggal

Di Israel, perlindungan adalah kemewahan. Mereka yang hidup di apartemen elit memiliki ruang aman pribadi. Tapi yang miskin, hidup dalam ketakutan, kehilangan tidur dan rasa aman karena harus berdesak-desakan di bunker umum dengan kursi rusak dan ventilasi minim. Anak-anak mereka tidak bermain, mereka bersembunyi.

Di kawasan Arab dan permukiman Yahudi miskin, warga hanya punya gorong-gorong atau terowongan beton sebagai tempat berlindung. Ini mencerminkan diskriminasi struktural: siapa yang dianggap pantas untuk hidup aman, dan siapa yang tidak.

Sejak 1950-an, negara bertanggung jawab membangun bunker. Tapi kini, tanggung jawab itu diprivatisasi. Menurut pakar antropologi Amalia Sa’ar dari Universitas Haifa, keamanan sipil telah dijadikan komoditas: “Orang miskin berlari ke bunker yang terkunci. Orang kaya punya perlindungan pribadi.”

Bahkan organisasi sipil seperti “Aseh Haim” pun turun tangan memperbaiki ratusan bunker. Namun masalah utamanya bukan uang, melainkan hilangnya komitmen negara terhadap keselamatan rakyatnya.

Bunker sebagai Cermin Gagalnya Negara

Seperti dikatakan Sa’ar, perang dengan Iran bukan hanya mengembalikan relevansi bunker, tapi juga membongkar realitas pahit: negara gagal membangun sistem pertahanan sipil yang merata dan layak.

Jika ada harapan, kata Georgi, itu berasal dari solidaritas masyarakat sipil. Namun solidaritas saja tak cukup. Israel, yang selalu membanggakan sistem pertahanannya, kini terlihat telanjang. Warganya berebut tempat berlindung. Bunkernya penuh sampah dan air limbah. Rasa aman kini menjadi barang mewah, hanya bisa dibeli oleh yang berpunya.

Sumber: Al Jazeera, Media Israel

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here