Ketua Koalisi Global untuk Al-Quds dan Palestina, Ahmad Ibrahimi, menyayangkan atas perubahan drastis sikap dunia (baik secara politik maupun publik) terhadap situasi Gaza yang dikepung, dilanda kelaparan, dan mengalami genosida terang-terangan. Ia menilai sistem internasional telah lumpuh total dan memperlihatkan keberpihakan memalukan.

Dalam wawancara eksklusif dengan Al Jazeera Net, Ibrahimi menyatakan bahwa pendudukan Israel dan para sekutunya bertanggung jawab penuh atas penutupan perlintasan bantuan, serta menjadikan kelaparan, blokade, dan pengusiran massal sebagai senjata untuk memaksa rakyat Palestina bertekuk lutut. Ia menegaskan, membela rakyat Palestina adalah kewajiban syar’i dan moral yang tak bisa ditawar.

Koalisi Global untuk Al-Quds dan Palestina sendiri didirikan pada 2011 di Istanbul, sebagai aliansi berbagai lembaga dari seluruh dunia yang bekerja mendukung Palestina. Misinya jelas: menjaga identitas Al-Quds, memperkuat kesadaran global akan pentingnya warisan Palestina, dan membangun solidaritas nyata—baik secara politik, media, maupun logistik.

Dunia Kehilangan Nurani

Menurut Ibrahimi, dunia saat ini sedang mengalami “pergeseran nilai yang sangat berbahaya.” Prinsip-prinsip keadilan, solidaritas, dan hak asasi manusia kini mengalami kemunduran drastis. “Standar lama tak lagi relevan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi di Gaza,” ujarnya.

Ia mengecam kegagalan lembaga-lembaga internasional dalam melindungi warga Palestina. “Dewan Keamanan dan PBB tak lagi menjadi tempat berlindung bagi yang tertindas. Banyak hukum dan konvensi internasional runtuh di hadapan tragedi sebesar ini,” tegasnya.

Ibrahimi menyebut, bahkan tayangan langsung pembantaian di Gaza pun gagal menghentikan perang, berbeda dari respons dunia dalam konflik-konflik besar sebelumnya. Ia menilai politik dunia kini dikendalikan oleh logika “mafia global”—di mana kepentingan menginjak-injak prinsip, dan kekuatan besar membagi wilayah kekuasaan dengan mengorbankan hak-hak rakyat.

Senjata Blokade dan Kelaparan

Lebih lanjut, Ibrahimi mengungkapkan bahwa penjajah Israel secara sistematis menggunakan blokade dan kelaparan untuk menekan rakyat Gaza, mengincar tumpuan sosial perlawanan agar melemah. “Setelah gagal memukul mundur perlawanan atau membebaskan sandera lewat kekuatan militer, mereka menyerang struktur sosial rakyat Gaza dengan kelaparan,” paparnya.

Meski mengakui bahwa penutupan perlintasan bantuan oleh Israel adalah faktor utama, Ibrahimi juga menuding negara-negara sekitar Gaza dan sistem internasional yang menurutnya “dibentuk sesuai kepentingan Zionisme.” Kini, kata dia, bahkan kebutuhan dasar seperti makanan dan obat-obatan pun tak lagi bisa dijangkau rakyat Gaza—sebuah preseden kelam yang mengancam nilai-nilai kemanusiaan global.

Bertahan di Tengah Reruntuhan

Meski situasi memburuk, Ibrahimi menegaskan bahwa lembaga-lembaga di bawah koalisinya tetap bekerja keras di dalam dan sekitar Gaza, dengan risiko tinggi. “Kami menjalankan lebih dari 120 dapur umum (takiya) yang menyalurkan makanan dan bantuan medis 24 jam penuh. Kami hadir di semua wilayah meski pintu tertutup dan jalur bantuan dibatasi secara kejam,” katanya.

Koalisi juga menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi internasional dan Arab seperti World Central Kitchen dan lembaga bantuan dari Turki serta negara-negara Teluk, guna menjalankan proyek-proyek penting setiap hari—mulai dari penyediaan tempat tinggal, pengeboran sumur, pemulihan rumah sakit, hingga distribusi ribuan paket makanan.

Dunia Masih Diam

Namun di balik semua itu, Ibrahimi tak menutupi kekecewaannya terhadap lemahnya respons masyarakat internasional, termasuk dunia Arab dan Muslim. “Meski Gaza kini menjadi sorotan seluruh umat manusia di lima benua, sayangnya aksi nyata belum sebanding dengan penderitaan luar biasa yang mereka alami,” tuturnya dengan getir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here