Dari reruntuhan lingkungan Al-Zaitoun yang hancur lebur di jantung Kota Gaza, muncul kisah pilu keluarga Al-Dal—sebuah potret nyata dari ribuan keluarga Palestina yang terusir dan terperangkap dalam penderitaan akibat perang brutal terbaru.

Setelah rumah mereka luluh lantak dihantam serangan udara, Mervat Al-Dal bersama suaminya, Darwish Mustafa Al-Dal, dan keempat anak mereka kini hidup tanpa tempat tinggal. Mereka menjadi pengungsi di kamp-kamp dalam wilayah Gaza, tempat yang tak menjanjikan rasa aman, tanpa makanan yang layak, bahkan tak menyediakan kebutuhan dasar untuk hidup.

Keluarga ini menjalani hari-hari dalam kondisi kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Kekurangan pangan yang parah membuat mereka hanya mampu makan sekali sehari—itulah batas maksimal yang bisa mereka usahakan. Padahal di antara mereka ada anak-anak kecil, seorang perempuan hamil delapan bulan, dan ibu menyusui yang hidup tanpa akses terhadap nutrisi dan layanan kesehatan yang memadai.

Menurut pengakuan keluarga Al-Dal, bantuan makanan yang masuk sangat terbatas—bahkan tidak cukup untuk menghidupi satu orang, apalagi satu keluarga utuh.

Namun kelaparan hanyalah satu dari sekian derita. Sejak pengungsian paksa mereka, penyakit pun menjadi bagian dari keseharian. Sang ayah dan salah satu anak mengalami kondisi kesehatan kronis, namun sistem kesehatan Gaza sudah lumpuh akibat perang dan blokade panjang. Mendapatkan pengobatan, kini, bukan hanya sulit—tapi nyaris mustahil.

Meski hidup di tengah puing dan bayang-bayang kematian, keluarga Al-Dal menolak menyerah. Mereka bersikukuh untuk tetap tinggal di Gaza. Bagi mereka, menjadi pengungsi tak berarti menyerah pada nasib, apalagi meninggalkan tanah air. “Kami tak akan pergi, betapa pun kejamnya keadaan,” begitu sikap mereka.

Di Al-Zaitoun (wilayah yang kini tinggal kenangan) setiap sudut menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan. Dan kisah keluarga Al-Dal adalah cermin bagaimana hidup di Gaza telah berubah menjadi perjuangan harian untuk sekadar bertahan hidup.
Sumber: Al Jazeera