Setiap pukul delapan pagi, Bank Darah di Kompleks Medis Nasser, Khan Younis, Gaza selatan, membuka pintunya seperti biasa. Namun selama lebih dari empat jam, suasana lengang menyelimuti ruangan itu. Tak ada antrean, tak ada donor—hanya suara sirene ambulans yang membawa korban luka akibat serangan udara Israel yang terus mengguncang rumah-rumah dan tenda pengungsi.

Selama waktu itu, hanya satu orang datang mendonorkan darah. Ia adalah Yusuf At-Talawi, seorang pemuda yang rutin berdonor sebelum perang. Namun enam bulan terakhir, ia berhenti karena tubuhnya melemah akibat kelaparan dan gizi buruk.

“Saya tak punya apa-apa selain darah ini untuk disumbangkan,” ujarnya kepada Al Jazeera, dengan nada sedih karena tak sempat sarapan sebelum ke lokasi donor.

Lapar Menjauhkan Pemuda dari DonorSebelum agresi militer dimulai 7 Oktober 2023, Yusuf rutin donor tiap tiga bulan.

Kini, ia hanya sempat tiga kali berdonor karena rumah sakit jadi sasaran, blokade diperketat, dan bahan pangan makin langka. Ia baru saja dikaruniai anak pertamanya, tapi tak bisa memenuhi kewajiban sosial sekecil mendonorkan darah.

Dr. Sofia Zaarab, kepala Unit Laboratorium dan Bank Darah Kementerian Kesehatan Gaza, menyebut ada penurunan tajam partisipasi pemuda dalam donor darah sejak blokade semakin diperketat 2 Maret lalu.

“Gizi buruk dan kelaparan membuat banyak pemuda takut berdonor,” ujarnya.

Dalam tiga hari terakhir, Bank Darah Nasser hanya menerima 10 kantong darah, padahal 250 kantong telah disalurkan dalam periode yang sama sejak Jumat lalu.

Syariah Ihleel, mantan pemain sepak bola lokal, mengaku ingin berdonor, tapi tubuhnya lemah. Ia tak mengidap penyakit, tapi makanan bergizi tak tersedia. Daging, ayam, ikan—semua tak ada. Sayuran langka dan mahal. Ia hanya makan makanan kaleng bantuan lama.

Dr. Zaarab menyampaikan bahwa banyak pemuda seperti Ihleel yang datang dengan semangat tinggi, tapi saat darah mulai diambil, mereka pusing dan mual. Darah itu pun tak bisa digunakan dan harus dibuang.

Salah satu contohnya, seorang pemuda 20-an tahun datang untuk berdonor. Setelah beberapa menit, tubuhnya gemetar, keringat bercucuran, lalu muntah. Ketika ditanya, ia mengaku hanya makan sepotong roti dan sedikit zaatar malam sebelumnya.

Tim medis langsung membatalkan donasinya.

“Proses donor membutuhkan energi, kalori, cairan, dan gula yang cukup. Semua itu tak lagi tersedia,” ujar Zaarab.

Bahkan jus untuk pendonor pun kini tak tersedia. “Kadang kami bahkan tak punya air bersih untuk ditawarkan.”

Stok Menipis dan Alat Habis

Bank darah Gaza kini berada di ambang kehancuran. Stok darah tersisa hanya cukup untuk empat hari. Sementara itu, alat transfusi, kantong darah, dan reagen laboratorium nyaris habis.

Zaarab mengatakan, “Banyak item sudah nol. Israel mencegah masuknya suplai dan bahkan darah donor dari Tepi Barat.”

Kekurangan ini memaksa tenaga medis bekerja dalam kondisi darurat. Pembuatan satu kantong darah kini memakan waktu dua kali lebih lama karena harus dilakukan manual.

Prosedur medis pun terpaksa dilonggarkan, mulai dari pengecekan hemoglobin, berat badan, tekanan darah, hingga riwayat kesehatan pendonor.

“Karena kebutuhan mendesak, kami bahkan harus menerima pendonor yang kekurangan gizi,” kata Zaarab.

Tapi akibatnya, banyak dari mereka justru pingsan atau jatuh sakit setelah donor.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here