Di Gaza, panas Agustus yang menyengat berpadu dengan kegelapan akibat listrik yang terputus dan deru perang tanpa henti. Di rumah-rumah gelap maupun tenda pengungsian yang serupa tungku, warga menghadapi dahaga yang sulit dipadamkan.
Segelas minuman dingin kini menjadi kebutuhan mendesak, meski harganya makin mahal dan sulit dijangkau. Di tengah krisis ini, warung-warung sederhana seperti milik keluarga Hamadeh di Nuseirat menjadi tempat pelarian. Ratusan orang mengantre demi segelas barad (jus sederhana dengan es batu) yang bisa sedikit meringankan dahaga dan panas.
“Setiap hari saya ke sini untuk anak-anak. Di tenda, air rasanya seperti mendidih,” kata Kholoud, seorang ibu yang tak pernah absen mengantre. Namun harga yang dulu hanya seperempat dolar kini melonjak enam kali lipat, membuat keluarga harus merogoh hingga 12 dolar per hari hanya untuk beberapa gelas minuman.
Pemilik kios, Bassam Hamadeh, mengaku terjepit. Toko dan supermarket miliknya luluh lantak dibom pada bulan-bulan pertama perang. Kini, ia berusaha bangkit, meski harga gula, lemon, hingga plastik melonjak drastis. “Kami dianggap menaikkan harga, padahal biaya produksi berlipat ganda. Kalau dijual lebih murah, kami tak bisa bertahan,” ujarnya.
Dari Usaha Kecil Hingga Harapan Hidup
Sebagian warga mencoba mencari solusi sendiri. Amr al-Majdalawi, misalnya, membuka usaha kecil di bawah rumahnya dengan kulkas bertenaga surya. Ia memproduksi ratusan kantong barad dan air es setiap hari, menjualnya di pasar maupun kamp pengungsian. Dalam waktu kurang dari sejam, seluruh stoknya habis diserbu pembeli.
“Sekantong air dingin di Gaza sekarang seperti harta karun,” katanya. “Bukan sekadar pelepas dahaga, tapi simbol kecil kehidupan di tengah panas, perang, dan kelaparan.”
Sumber Nafkah Baru di Tengah Perang
Bagi sebagian anak muda, menjajakan air dingin menjadi jalan bertahan hidup. Firas, 20 tahun, berkeliling Pasar Nuseirat dengan kotak es kecil sambil berseru: “Ayo padamkan dahaga, segarkan badan, hanya satu shekel!”
Dalam hitungan menit, kantong air es dagangannya ludes. Dengan modal membeli 100 kantong seharga 80 shekel (25 dolar), ia mampu menjual hingga 200 kantong per hari, meraup sekitar 9–12 dolar. “Capek, panas, dan berdiri seharian di bawah matahari? Semua terbayar kalau bisa pulang dengan rezeki untuk keluarga,” ujarnya.
Simbol Bertahan
Di kamp pengungsian maupun pasar, kini pemandangan anak-anak membawa termos kecil berisi kantong barad atau air dingin sudah menjadi hal biasa. Permintaan tinggi muncul karena listrik padam, air minum panas, dan suhu udara yang menyesakkan.
Di tengah perang dan kelaparan, segelas minuman dingin yang dulu dianggap biasa kini berubah menjadi kebutuhan penting, penopang harapan kecil warga Gaza untuk tetap bertahan hidup.
Sumber: Al Jazeera