Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kembali menyatakan dukungan penuh terhadap operasi militer “Gerobak Gideon” yang dilancarkan sejak Ahad kemarin di Jalur Gaza. Padahal, berbagai pandangan di Tel Aviv memperdebatkan efektivitas serangan darat tersebut dalam mencapai target utama: mengalahkan Hamas dan membebaskan para tawanan Israel.

Di tengah perdebatan itu, kekhawatiran internasional makin meningkat terhadap krisis kemanusiaan di Gaza yang nyaris mencapai titik kelaparan. Bahkan militer Israel pun mengakui kondisi ini dan menyerukan perlunya pengiriman bantuan untuk menghindari konsekuensi hukum internasional.

Tekanan global pun terus meningkat, mendesak Israel untuk menerima kesepakatan tahap awal dengan Hamas yang memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan dan meringankan penderitaan warga sipil Gaza.

Tekanan dari AS

Dalam konteks ini, pemerintahan Amerika Serikat menekan Netanyahu agar menyetujui usulan yang diajukan oleh utusan Presiden AS, Steve Whitkoff.

Usulan itu mencakup pembebasan setengah dari tawanan Israel yang masih hidup dengan imbalan gencatan senjata sementara, yang nantinya mengarah pada kesepakatan menyeluruh: pembebasan seluruh tawanan dan penghentian total perang.

Banyak analis Israel memperkirakan bahwa perluasan operasi darat tidak akan membawa hasil seperti yang diharapkan. Strategi pembunuhan tokoh-tokoh Hamas pun dinilai justru bisa memecah kelompok tersebut menjadi faksi-faksi kecil yang lebih sulit dikendalikan di masa depan.

Diperkirakan pula, tekanan internasional—termasuk dari mantan Presiden AS Donald Trump—akan semakin kuat agar Israel menyetujui kesepakatan pertukaran tawanan, meski bersifat parsial, dan masuk ke tahap negosiasi yang bisa mengakhiri perang.

Namun hal ini bertentangan dengan pernyataan Kepala Staf Militer Israel, Eyal Zamir, yang menegaskan bahwa kesepakatan pertukaran tawanan tidak berarti penghentian operasi militer. Ia menekankan bahwa operasi “Gerobak Gideon” akan terus berjalan hingga “menghancurkan Hamas dan melumpuhkan kekuatan tempurnya,” meskipun perang telah berlangsung lebih dari 18 bulan.

Risiko Kematian Tawanan

Penulis dan mediator Israel-Amerika, Gershon Baskin, memperingatkan bahwa tekanan militer justru membahayakan nyawa para tawanan, bukan menyelamatkan mereka. Ia menyatakan bahwa Israel sendiri telah mengumumkan bahwa 41 tawanan kemungkinan telah gugur akibat operasi militer.

Mengutip kesaksian dari para tawanan yang telah dibebaskan, Baskin menegaskan bahwa serangan udara Israel mengancam langsung keselamatan mereka.

Risiko meningkat ketika pasukan Israel mendekati lokasi mereka ditahan. Ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa menyelamatkan tawanan bukanlah prioritas Netanyahu—melainkan menjaga stabilitas pemerintahannya.

Meski Netanyahu menyebut 21 tawanan masih hidup, jumlah mereka semakin berkurang.

Menurut Baskin, proposal pertukaran tawanan komprehensif sudah ada sejak berbulan-bulan lalu dan hanya tinggal menunggu keputusan politik dari Netanyahu. Ia menambahkan, operasi militer yang terus berlanjut justru bisa menghilangkan tokoh-tokoh penting Hamas yang berperan dalam menyukseskan kesepakatan, sehingga negosiasi di masa depan makin mustahil.

Baskin menegaskan bahwa perang dapat diakhiri, para tawanan dibebaskan, dan Israel mundur ke perbatasan internasionalnya—semua itu bisa tercapai dalam waktu satu pekan. Ia menutup dengan seruan agar kekerasan dan kehancuran di Gaza dihentikan segera, sebab Israel akan menanggung akibatnya selama bertahun-tahun.

Kalkulasi Politik Netanyahu

Analis militer Haaretz, Amos Harel, menilai bahwa Netanyahu kini sedang membangun narasi kemenangan semu untuk publik Israel guna membenarkan kesediaannya menerima kesepakatan tahap awal, sekaligus menjaga koalisi pemerintahannya tetap utuh, terutama dengan partai Otzma Yehudit dan Zionisme Religius.

Harel menyebut bahwa usulan Whitkoff bisa memberi ruang politik bagi Netanyahu untuk melewati sidang musim panas Knesset yang berakhir 27 Juli, memungkinkan pemerintahannya bertahan hingga sesi musim dingin di akhir Oktober.

Bahkan, pemilu umum bisa ditunda hingga musim semi 2026.

Menurut Harel, inilah tujuan utama Netanyahu saat ini—sementara kepentingan lain berada di urutan kedua. Ia juga menambahkan bahwa pembunuhan terhadap pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, tak mengubah posisi atau syarat yang diajukan Hamas.

Bahkan jika kabar tentang syahidnya sang adik, Muhammad Sinwar, benar—hal itu tak akan memberi dampak berarti.

Simbol Tanpa Dampak Strategis

Harel menilai pembunuhan tokoh-tokoh Hamas itu lebih bersifat simbolis daripada strategis, dan tidak akan menjadi titik balik dalam perang ini. Ia memperingatkan bahwa kelanjutan perang hanya akan menambah jumlah korban, termasuk di antara para tawanan dan prajurit Israel sendiri—mereka yang justru paling dahulu akan membayar harga kegagalan jika kesepakatan tidak tercapai.

Jurnalis bidang Arab di media Zman Yisrael, Nurit Yohanan, juga sependapat bahwa kematian Muhammad Sinwar—jika benar terbunuh—tidak akan mengubah arah perkembangan konflik. Ia bukanlah pengambil keputusan dalam tubuh Hamas dan tak memiliki pengaruh sebesar kakaknya, Yahya Sinwar.

Yohanan menekankan bahwa peran tokoh militer seperti Muhammad Sinwar dalam pengambilan keputusan strategis sangatlah terbatas.

Hamas, menurutnya, dikendalikan oleh dewan kepemimpinan yang terdiri dari lima tokoh politik, yang tidak terlibat langsung dalam operasi militer.

Atas dasar itu, ia menilai bahwa pembunuhan terhadap Muhammad Sinwar, jika benar terjadi, takkan berdampak nyata terhadap jalannya negosiasi gencatan senjata ataupun kesepakatan pertukaran tawanan. Ia menyebut pemberitaan yang membesar-besarkan hal ini lebih melayani kepentingan propaganda daripada menjadi capaian militer yang signifikan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here