Faksi-faksi pejuang Palestina di Gaza tak tinggal diam menghadapi ancaman Israel untuk memperluas agresi darat. Usai pertemuan Kabinet Israel Ahad malam (4/5/2025), pasukan perlawanan langsung meningkatkan kesiapsiagaan. Komandan-komandan lapangan menyatakan kesiapan penuh menghadapi segala kemungkinan, termasuk upaya pendudukan ulang Jalur Gaza—sebuah mimpi buruk lama yang coba dihidupkan kembali oleh Benjamin Netanyahu.
Meski Israel menyuarakan harapan untuk mencapai kesepakatan pembebasan tawanan menjelang kunjungan Presiden AS Donald Trump, faksi-faksi perlawanan justru membaca situasi dengan kacamata antisipasi dan kehormatan. Bagi mereka, Gaza bukan sekadar wilayah yang bisa diduduki, melainkan jantung perlawanan, identitas perjuangan, dan harga diri yang tak akan diserahkan.
“Kami tetap di sini dan akan bertempur sampai akhir,” tegas para komandan militer kepada Al Jazeera Net pada Rabu (7/5/2025).
Bukan Sekadar Bertahan, Tapi Menyerang Balik
Perlawanan tidak menunggu. Sejak awal agresi dimulai 18 Maret lalu, para pejuang telah merapikan barisan. Mereka tidak sekadar bertahan di tengah blokade, kelaparan, dan pembersihan etnis, tetapi juga menyusun ulang prioritas militer, merehabilitasi kekuatan di medan, dan mempersiapkan penyergapan yang mematikan.
Dalam fase-fase gencatan senjata pun, evaluasi terus dilakukan. Pelajaran dari setiap konfrontasi di berbagai wilayah Gaza dijadikan amunisi taktis menghadapi babak pertempuran berikutnya.
Menurut para komandan, Israel tahu risiko yang mereka hadapi. Tentara mereka bisa saja masuk ke Gaza, tapi keluar dengan luka, beban psikologis, dan tekanan politik yang lebih berat dari sebelumnya.
Seperti dikatakan salah satu komandan, “Kami punya orang-orang, keyakinan, medan, dan sejarah. Siapa pun yang masuk ke Gaza, tak pernah keluar tanpa meninggalkan sebagian dari dirinya.”
5 Strategi Perlawanan Hadapi Agresi Darat Israel
1. Menyergap, Bukan Disergap
Faksi-faksi telah menyiapkan jebakan berdarah di titik-titik yang diprediksi akan menjadi jalur masuk IDF. Serangan mematikan di Beit Hanoun, Al-Tuffah, dan Rafah menjadi bukti bahwa para pejuang tidak sekadar mengamati, tetapi menghancurkan.
2. Unit Kecil, Manuver Bebas
Pasukan dikonsentrasikan dalam tim-tim kecil yang tersebar. Ini memudahkan pergerakan, memperluas area konflik, dan membuat tentara Israel kewalahan menghadapi serangan dari banyak titik.
3. Senjata Inovatif, Perlawanan Adaptif
Rudal penembus lapis baja Yassin 105, jebakan antipersonel, senapan penembak jitu, bahkan roket Israel yang gagal meledak, semuanya didaur ulang menjadi alat perlawanan yang mematikan.
4. Terowongan: Nafas Bawah Tanah Gaza
Terowongan yang rusak diperbaiki. Dari lubang-lubang itu, pejuang menyeruak ke zona militer Israel, seperti yang dilakukan Brigade Al-Qassam di timur Beit Hanoun baru-baru ini.
5. Menjebak dan Menawan
Target utama perlawanan bukan hanya menggagalkan operasi militer, tetapi juga menangkap lebih banyak tentara Israel. Bagi mereka, setiap tawanan adalah tekanan politik bagi Tel Aviv, dan kartu penting dalam negosiasi.
Perlawanan: Gaza Bukan Wilayah, Tapi Ide
“Gaza bukan wilayah geografis yang bisa diduduki,” tegas para pejuang. “Ia adalah ide, identitas, dan kompas perjuangan.” Mereka tahu, siapa pun yang mencoba mendudukinya kembali akan menanggung beban lebih besar daripada yang bisa ditanggung.
Hal ini dikuatkan oleh analis militer Haaretz, Amos Harel, yang mengatakan bahwa memperluas operasi Israel justru bisa berujung bencana: kehilangan tentara, kegagalan membebaskan tawanan, dan memburuknya krisis kemanusiaan.
Bahkan koresponden Channel 12 Israel mengakui, 30% wilayah Gaza yang kini diduduki tentara Israel tidak memberikan hasil signifikan. Hamas tetap berdiri, dan para tawanan belum dibebaskan.
The Associated Press juga melaporkan, Israel berencana memaksa ratusan ribu warga Palestina ke selatan—sebuah pengusiran paksa yang semakin memperdalam luka kemanusiaan. Jika rencana ini dijalankan, bukan hanya impian negara Palestina yang terkubur, tapi juga reputasi Israel sebagai penjajah akan semakin telanjang di mata dunia.
Ancaman Netanyahu, Jawaban Al-Mardawi
Netanyahu menyatakan bahwa operasi darat berikutnya akan “intensif” dan tentara Israel akan tetap berada di Gaza tanpa batas waktu. Namun Hamas merespons dengan tenang dan tegas. Mahmoud al-Mardawi menegaskan bahwa ancaman Israel hanya upaya untuk mematahkan semangat rakyat Palestina—dan itu tak akan berhasil.
“Setiap bentuk pemaksaan, pemerasan, dan pengkhianatan terhadap hak-hak kami akan kami tolak. Kami tahu apa yang kami perjuangkan,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Rencana baru Israel, seperti dilaporkan Reuters dan media Israel, hanyalah langkah panik menghadapi medan yang tak bersahabat dan semangat yang tak bisa dibunuh.
Gaza bukan hanya benteng terakhir Palestina—ia adalah cahaya kecil yang tetap menyala di tengah kelamnya penjajahan. Dan selama masih ada pejuang yang berkata, “Kami tetap di sini, bertempur sampai akhir,” maka Gaza tak akan pernah takluk.