Agresi brutal Israel terhadap Gaza Utara kembali meningkat dalam beberapa hari terakhir, memperparah krisis di tengah sistem kesehatan yang telah lama lumpuh. Sejak awal Maret lalu, pasukan pendudukan terus menghalangi masuknya obat-obatan, peralatan medis, dan bahan bakar yang sangat dibutuhkan rumah sakit. Akibatnya, rumah sakit-rumah sakit utama di wilayah itu beroperasi dalam kondisi darurat, nyaris tanpa dukungan logistik yang memadai.
Direktur Rumah Sakit Indonesia, Dr. Marwan Sultan, menggambarkan situasi mencekam yang dihadapi tenaga medis. Serangan dari drone “quadcopter” Israel membuat akses ke rumah sakit nyaris mustahil, bahkan tim medis pun terpaksa meninggalkan pos mereka karena ketakutan.
Di dalam gedung rumah sakit, 55 orang terjebak, termasuk pasien-pasien yang tak mampu bergerak dan tenaga medis yang tersisa. Rumah sakit ini adalah satu-satunya fasilitas di Gaza Utara yang masih memiliki ruang ICU dan ruang operasi.
Jika lumpuh total, tak ada lagi tempat untuk menyelamatkan nyawa.
Tak jauh dari situ, Rumah Sakit Al-Awda juga berada dalam kondisi darurat. Dr. Muhammad Shalha, direktur rumah sakit, menyebut bahwa hujan peluru dan ledakan artileri membuat ambulans kesulitan menembus area terdampak. Rumah sakit ini tak menerima pasokan obat dan peralatan medis selama lebih dari 80 hari, dan sudah 40 hari tak mendapatkan tambahan bahan bakar.
Kini, rumah sakit hanya bisa menyalakan sebagian unit secara bergantian—sementara hanya ada satu dokter bedah yang bertugas untuk menangani semua operasi penyelamatan jiwa.

Pemerintah Gaza telah mendirikan rumah sakit lapangan di sekitar Rumah Sakit Kamal Adwan, tetapi layanan medis yang diberikan sangat terbatas, hanya mencakup pertolongan pertama sebelum pasien dipindahkan ke Gaza Selatan.
Situasi ini menggambarkan kehancuran total sistem kesehatan di wilayah utara. Pemerintah dan tenaga medis pun menyerukan bantuan darurat dari lembaga-lembaga internasional—untuk membuka jalur aman bagi pasokan medis dan evakuasi korban.

Serangan terhadap rumah sakit bukan hanya kejahatan perang, tapi juga ujian moral yang menentukan di hadapan dunia: akankah dunia membiarkan ratusan ribu nyawa sipil digilas tanpa perlindungan?