Pengumuman Israel untuk memperluas operasi darat di Jalur Gaza membayangi proses negosiasi di Doha terkait gencatan senjata dan pertukaran tawanan. Langkah ini memunculkan tanda tanya besar: apakah upaya diplomatik benar-benar masih punya harapan? Dan mengapa justru kini Israel menyetujui masuknya bantuan kemanusiaan?
Dalam konteks ini, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, menegaskan bahwa langkah utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Steven Wietkoff, hanyalah kedok untuk melancarkan kunjungan Donald Trump ke kawasan.
Berbicara dalam program Masar al-Ahdats, Barghouti mengungkapkan adanya kemitraan penuh antara AS dan Israel. Ia menilai keduanya menjadikan makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan sebagai alat perang yang brutal. Washington dan Tel Aviv, menurutnya, sedang melanjutkan agenda lama: pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina.
“Ini adalah kebiadaban Israel yang tak punya batas,” tegasnya. Ia menjelaskan bahwa meski perang telah berlangsung 19 bulan, Israel gagal total mencapai tujuannya: tidak berhasil memusnahkan perlawanan, gagal membebaskan para tawanan mereka, gagal melaksanakan skenario pemindahan paksa, bahkan kini menghadapi krisis serius di barisan cadangan militernya.
Militer Israel Bergerak Cepat, Negosiasi Doha Tertinggal
Sementara itu, pengamat urusan Israel, Muhannad Mustafa, menilai ritme operasi militer Israel kini jauh lebih cepat daripada perkembangan meja perundingan di Doha.
Menurutnya, Israel sedang melaju dengan proyek politik dan ideologisnya di Gaza. Bahkan mereka enggan menjanjikan penghentian perang. Yang mereka tawarkan hanyalah jeda sementara—dengan syarat mereka sendiri.
“Pemindahan paksa warga Gaza utara sepenuhnya sejalan dengan visi pemerintahan Benjamin Netanyahu untuk menduduki Gaza. Ini juga menjadi alat tekanan terhadap Hamas dalam konteks negosiasi Doha,” ujarnya.
Pada Minggu kemarin, militer Israel secara resmi memulai operasi darat besar-besaran di wilayah utara dan selatan Gaza, dalam misi yang mereka namakan “Kereta Gideon.”
Militer Israel mengklaim telah membombardir 670 target di Gaza dalam sepekan terakhir, sebagai bagian dari persiapan operasi darat. Namun data medis dari Gaza mencatat ratusan warga Palestina gugur dan luka-luka, akibat serangan brutal yang menyasar rumah-rumah warga, tenda pengungsi, hingga rumah sakit.
Serangan Darat, Evakuasi Massal, dan Kedok Bantuan
Analis militer Brigjen Elias Hanna menyebut Israel sedang melanjutkan upaya untuk mengosongkan Gaza utara dari penduduknya—suatu strategi yang mengingatkan pada “Rencana Para Jenderal” di masa lalu. Israel menggunakan serangan udara dan artileri secara intensif, menargetkan para pemimpin perlawanan dan infrastruktur pendukung mereka.
Hanna yakin, apa yang dilakukan Israel di Doha tak lebih dari pengalihan isu, saat medan tempur di Gaza berubah dari detik ke detik. “Yang nyata adalah ambisi perang menyeluruh dan tanpa batas,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa masalah kekurangan pasukan cadangan makin melemahkan efektivitas militer Israel, terutama karena mereka harus menyebar ke beberapa front sekaligus—Tepi Barat, Lebanon, Suriah—seiring dengan pengerahan Divisi 98 dan 162 ke Jalur Gaza.
Bantuan Kemanusiaan: Alasan Sementara, Tujuan Tetap Sama
Kantor Perdana Menteri Israel menyatakan, keputusan membuka jalur bantuan ke Gaza didasarkan pada rekomendasi militer, guna memperluas cakupan operasi.
Situs Axios mengutip pejabat Israel yang menyebut bantuan akan disalurkan lewat berbagai organisasi internasional hingga sistem distribusi baru mulai diterapkan pada 24 Mei.
Namun bagi Mustafa Barghouti, keputusan itu bukan karena belas kasih. “Ini hanya reaksi atas gelombang tekanan global dan skandal moral yang mempermalukan mereka di mata dunia,” katanya. Ia pun balik bertanya, “Masalahnya bukan pada pengiriman bantuan—tetapi bagaimana bantuan itu akan didistribusikan?”
Barghouti menegaskan, dunia tak boleh membiarkan pemerintahan Netanyahu menjalankan skenarionya. “Target mereka bukan sekadar menumpas Hamas atau membebaskan tawanan—tapi mencabut akar rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri,” ujarnya.
Muhannad Mustafa pun sepakat. Ia menyebut bantuan kemanusiaan sebagai bagian dari “rencana kemanusiaan Israel-Amerika.” Bantuan itu, katanya, tidak akan mengubah arah negosiasi Doha.
Ia juga menyoroti bagaimana eskalasi militer bersamaan waktunya dengan penerapan rencana AS-Israel di Gaza bagian selatan. “Ini semua adalah bagian dari pemahaman strategis antara Washington dan Tel Aviv,” katanya.
Dari sudut pandang militer, Brigjen Hanna menjelaskan bahwa pusat-pusat distribusi bantuan yang didirikan di Gaza selatan—tepatnya di bawah Poros Morag yang memisahkan Khan Younis dan Rafah—dibuat untuk dikontrol dari jarak jauh dan dijaga dengan ketat.
Perlawanan Tak Akan Menyerah
Melihat semua ini, Brigjen Hanna menyimpulkan bahwa pilihan perlawanan kini hanya satu: “Bertempur sampai titik darah penghabisan. Menyerah bukan pilihan. Ini adalah perang hidup atau mati.”
Sumber: Al Jazeera