Pagi itu, aroma mesiu dan darah kembali menyelimuti Gaza. Di tengah puing-puing dan duka yang tak pernah usai, rakyat Palestina terbangun dengan kabar memilukan: lima jurnalis gugur sekaligus akibat serangan brutal Israel. Ahad pagi itu bukan sekadar deret angka baru dalam daftar panjang syuhada, tapi kehilangan mendalam bagi suara-suara yang selama ini menjadi saksi hidup atas penderitaan Gaza.
Kelima jurnalis itu adalah: Ahmad al-Zeenati, Abdurrahman al-‘Abadleh, Noor Qandil, suaminya Khalid Abu Seif, dan Aziz al-Hijjar. Mereka syahid bersama beberapa anggota keluarga, dihantam rudal di fajar yang belum sempat menyapa.
Ahmad al-Zeenati: Dari Insinyur Menjadi Penjaga Kebenaran
Di usia 35, Ahmad al-Zeenati telah menulis kisah hidup yang tak biasa. Lulusan terbaik program magister manajemen bisnis itu awalnya adalah seorang insinyur sipil. Namun karena blokade yang melumpuhkan segala peluang kerja, ia beralih ke dunia jurnalistik—bukan karena tren, melainkan karena panggilan nurani.
Temannya, Siraj Abu Hammam, mengenangnya sebagai sosok pekerja keras yang mendokumentasikan segala krisis di Gaza dengan kamera dan kata. Lewat blog dan akun Tumblr-nya, ia menyuarakan derita Gaza dalam berbagai bahasa, menembus batas-batas geopolitik.
Ahmad tak hanya jadi jurnalis. Ia juga seorang ayah yang kehilangan dua anaknya, Musa dan Khalid, dalam serangan ke rumahnya di Khan Younis. Istrinya luka parah. Namun hidup berjalan, dan empat bulan lalu ia dikaruniai anak lelaki yang ia beri nama Khalid, mengenang anak yang telah syahid. Tapi bom Israel kembali datang. Membunuh Ahmad, istrinya, dan si bayi Khalid.
“Dia sedang bersiap mengambil gelar doktor,” kata Siraj. “Dan sangat cakap dalam menganalisis informasi terbuka serta membongkar bukti kejahatan Israel,” tambah Mahmoud Al-‘Ayla, rekan Ahmad.
Noor Qandil & Khalid Abu Seif: Pasangan Pejuang dan Pengisah Kemanusiaan
Bagi Noor dan Khalid, jurnalistik bukan sekadar profesi—tapi bentuk cinta. Pasangan muda ini belajar dan bekerja bersama sebagai jurnalis lepas. Mereka memproduksi film dokumenter dan mengangkat cerita-cerita kemanusiaan dari Gaza.
Adik Noor, Muhammad Qandil, mengenangnya sebagai pribadi enerjik dan penuh semangat. Selain bekerja di bidang dokumentasi, Noor juga bertugas di bagian hubungan masyarakat Rumah Sakit Yafa, hingga hari ia syahid.
Mereka baru saja dikaruniai seorang putri bernama Aylul as-Salam (September Damai), bertepatan dengan upaya gencatan senjata awal tahun ini. Mereka bahkan tengah menyiapkan kanal media independen, baru saja membeli laptop untuk memulai proyek tersebut.
Namun semuanya hancur. Serangan udara Israel menewaskan mereka bertiga sekaligus. Bersama mereka, turut dikubur harapan dan karya yang belum sempat lahir.
Diana al-Maghribi, sahabat Noor, menyebutnya sebagai sosok yang tenang, cerdas, dan elegan—koordinator aktif di kafe media Thurayya sejak 2017. Noor juga dikenal karena komitmennya terhadap isu-isu nasional dan perjuangan rakyat.
Abdurrahman al-‘Abadleh: Jurnalis dan Relawan
Abdurrahman lahir tahun 1994. Ia mengelola platform berita “Huna al-Wathan” (Di Sini Tanah Air), menerbitkan laporan, dokumentasi, dan berita yang tak diangkat media internasional. Walau pernah mendapat ancaman dari intelijen Israel, ia tak berhenti melaporkan.
Tak hanya jurnalis, ia juga relawan. Mengelola kamp pengungsian, membagikan makanan, air, dan bantuan kepada warga yang terusir. Ia syahid akibat serangan udara saat berada di dekat rumahnya di utara Khan Younis. Ia meninggalkan seorang istri dan empat anak.
Aziz al-Hijjar: Suara yang Terbungkam Bersama Keluarganya
Aziz memulai karier jurnalistik sejak 2015 setelah lulus dari Universitas Al-Aqsha. Ia pernah bekerja untuk TV Palestina dan berbagai media sebagai jurnalis lepas. Temannya, Tareq ad-Duqqus, mengatakan bahwa Aziz begitu bersemangat membongkar kebohongan Israel dan membela kebenaran lewat kamera dan kata.
Namun akhir hayatnya tragis. Ia gugur bersama istri dan dua dari tiga anaknya. Putrinya yang selamat mengalami luka berat.
Di Mana Keadilan?
Wakil Ketua Serikat Jurnalis Palestina, Tahsin al-Ashtal, menyatakan bahwa pembunuhan jurnalis di Gaza kini menjadi pola sistematis yang dilakukan Israel tanpa rasa takut akan pertanggungjawaban internasional.
Serikat telah melaporkan kejahatan ini ke Federasi Jurnalis Internasional dan lembaga internasional lainnya. Mereka juga mendesak implementasi Resolusi DK PBB No. 2222 tahun 2015 tentang perlindungan jurnalis, serta mendesak agar para komandan militer Israel diadili di Mahkamah Pidana Internasional.
Per 19 Mei 2025, jumlah jurnalis yang gugur di Gaza telah mencapai 217 orang. Sebagian besar syahid saat menjalankan tugas mereka: mengabarkan kepada dunia, bahwa Gaza masih hidup… dan sedang dizalimi.
Sumber: Al Jazeera