Israel secara bulat menyetujui perluasan operasi militer di Jalur Gaza. Keputusan ini diambil dalam rapat kabinet perang, namun belum akan dilaksanakan sebelum Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengunjungi Timur Tengah, menurut laporan media Amerika Axios.

Selama jeda sebelum kunjungan tersebut, Washington disebut akan terus mendorong tercapainya kesepakatan gencatan senjata. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menegaskan kepada Fox News bahwa pihaknya masih aktif bekerja untuk mewujudkan penghentian tembak-menembak di Gaza.

Sementara itu, laporan dari penyiaran publik Israel menyebut bahwa rencana operasi yang disetujui bersifat bertahap. Dimulai dengan serangan intensif di satu kawasan Gaza, kemudian meluas ke wilayah lainnya.

Menurut rencana, operasi ini akan berjalan dalam jangka waktu beberapa bulan dan diklaim sebagai operasi militer besar-besaran.

Kepala Staf Militer Israel, Herzi Halevi, telah mengeluarkan puluhan ribu surat panggilan kepada pasukan cadangan guna mendukung ekspansi serangan. Namun, ia juga menyampaikan peringatan kepada pemerintah tentang risiko yang bisa mengancam nyawa para tahanan Israel yang ditahan di Gaza, jika invasi darat diperluas.

Dia menekankan adanya pertentangan antara dua tujuan perang: pembebasan tawanan dan penghancuran Hamas.

Serangan Kritik Terhadap Pemerintah Netanyahu

Sebelum keputusan itu diambil, pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, melontarkan kritik tajam terhadap rencana perluasan perang.

Ia menyebut bahwa pemerintahan Netanyahu tengah mengambil langkah berbahaya di saat militer sendiri kekurangan personel, hingga harus memanggil kembali para cadangan yang sebelumnya sudah bertugas selama ratusan hari.

Dalam unggahannya di platform X, Lapid menggambarkan kondisi sosial Israel yang terpecah: “Kini ada dua bangsa di Israel. Yang satu bertempur dan gugur di medan perang, sementara yang lain menghindar dari wajib militer.”

Dia menambahkan bahwa dari 19.000 surat panggilan yang telah dikirim kepada kalangan Haredi (Yahudi ultra-Ortodoks), hanya 232 orang yang bersedia hadir. Artinya, 99% menolak dan mangkir dari kewajiban.

Gaza Terus Membara

Sejak 18 Maret lalu, Israel kembali melanjutkan perang genosida di Gaza, menurut para pakar hukum internasional. Hal ini dilakukan setelah pihak Israel membatalkan kesepakatan gencatan senjata yang telah dicapai pada Januari sebelumnya.

Selama agresi ini, militer Israel berupaya membagi Gaza menjadi beberapa zona dan memutus konektivitas antar wilayah. Kota Rafah di selatan dihancurkan hampir sepenuhnya.

Tak hanya bangunan dan infrastruktur yang diluluhlantakkan, namun juga kamp pengungsian dan anak-anak menjadi sasaran tembakan, sebagaimana telah dikonfirmasi dalam berbagai laporan lokal maupun internasional.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here