Di tengah agresi militer yang terus berlangsung di Jalur Gaza, Israel menghadapi krisis internal yang kian meruncing. Perpecahan tajam antara elite politik dan militer memicu perdebatan serius soal arah strategi perang, terutama terkait nasib puluhan tawanan Israel yang masih ditahan oleh Hamas.
Pernyataan terbaru Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada Kamis lalu menyiratkan prioritas kemenangan militer di atas pembebasan tawanan. “Mengembalikan tawanan itu penting, tapi kemenangan atas musuh adalah tujuan utama,” katanya.
Namun, pernyataan ini segera dibantah oleh militer. Pada Jumat, militer Israel justru menegaskan bahwa prioritas utama mereka adalah “kewajiban moral untuk mengembalikan para tawanan,” kemudian baru mengalahkan Hamas.
Ketegangan ini mencerminkan perbedaan mendalam antara pandangan Netanyahu dan Kepala Staf Umum Militer Israel, Letjen Herzi Halevi, serta sejumlah petinggi militer lainnya. Bahkan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich—tokoh sayap kanan dari koalisi Netanyahu—secara terbuka menyatakan bahwa “tawanan bukanlah tujuan terpenting dalam perang ini.”
Buntunya Strategi

Pengamat menilai bahwa dua tujuan utama Israel—yakni pembebasan tawanan dan penghancuran Hamas—sejatinya bertolak belakang. Setiap peningkatan serangan militer hanya memperumit jalur negosiasi dan meningkatkan risiko terhadap keselamatan para tawanan, yang kini berjumlah 59 orang. Sekitar 24 di antaranya diyakini masih hidup.
Sejauh ini, agresi militer justru menguatkan posisi Hamas dalam negosiasi. Tak satu pun dari tawanan berhasil dibebaskan lewat operasi militer, dan Hamas terus menolak tekanan serta memperkuat tuntutan mereka.
Jurnalis militer Yoav Zitun dari Yedioth Ahronoth mengungkap bahwa tentara Israel tengah bersiap memperluas operasi militer di Gaza, termasuk rencana memanggil puluhan ribu pasukan cadangan. Kebijakan ini diyakini sebagai bagian dari strategi jangka panjang Kepala Staf Halevi, yang menganggap tahun 2025 sebagai “tahun perang”—dengan fokus pada Gaza dan Iran.
Dalam waktu dekat, tentara Israel juga akan memberlakukan penghentian distribusi bantuan kemanusiaan melalui jalur militer, sebagai bentuk pengetatan strategi dan untuk menghindari tekanan publik di dalam negeri.
Namun di sisi lain, militer juga menghadapi krisis personel. Hingga Juni mendatang, 24.000 surat perintah wajib militer akan dikirimkan kepada komunitas Yahudi ultra-ortodoks (Haredi), di tengah kebutuhan mendesak untuk menambah 10.000 tentara aktif.
Netanyahu dan Bayang-Bayang KrisisKolumnis Haaretz, Yossi Verter, menilai strategi militer yang agresif tidak selaras dengan visi politik Netanyahu. Ia menyebut masa kepemimpinan Netanyahu sebagai “era bencana” yang diwarnai dengan korupsi, kegagalan administratif, dan keputusan politik penuh kontradiksi—dari tragedi Kebakaran Carmel, insiden Meron, kegagalan pada 7 Oktober, hingga keruntuhan sektor publik.
Verter menilai bahwa setiap perpanjangan kekuasaan Netanyahu hanya membawa Israel makin dekat pada bencana baru. Bahkan mereka yang selama ini membela sang perdana menteri, kini mulai mempertanyakan arah kepemimpinannya.
Retaknya Barisan Israel
Pengamat politik Akiva Eldar menyebut perpecahan antara militer dan elite politik mencerminkan ketiadaan visi strategis yang jelas dalam perang ini. Hal ini tak hanya melemahkan posisi Israel di mata dunia, tapi juga bisa dimanfaatkan oleh Hamas dalam negosiasi pertukaran tawanan.
“Israel terjebak dalam kebuntuan strategis,” ujar Eldar kepada Al Jazeera. “Perang tak menghasilkan apapun, dan tak ada tanda-tanda solusi di depan mata.”
Dengan tekanan internasional dan keresahan di dalam negeri yang kian menguat, masa depan agresi militer Israel di Gaza kini berada di bawah bayang-bayang pertanyaan besar: ke mana arah perang ini, dan sampai kapan Israel bertahan dengan strategi yang terus gagal mencapai tujuannya?