Spirit of Aqsa— Dr. Marwan Al-Homsh, Direktur Rumah Sakit Lapangan Kementerian Kesehatan di Gaza, memperingatkan bahwa situasi kesehatan di Jalur Gaza tengah menuju jurang kehancuran total. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, ia menegaskan bahwa setiap hari yang berlalu membawa penderitaan yang lebih dalam, di tengah eksekusi sistematis Israel terhadap rencana pemusnahan rakyat Palestina.

“Di Gaza,” ujarnya lirih, “hari ini tidak lebih baik dari kemarin, dan besok akan lebih buruk dari hari ini.” Krisis kesehatan, kata Al-Homsh, tak sekadar memburuk—ia merambat dan menjalar secara konsisten.

Genosida yang Dilakukan dengan Sengaja

Menurutnya, apa yang dilakukan Israel bukan sekadar agresi. Ini adalah pemusnahan yang disengaja dan dirancang secara sistematis. Ia menyebutkan bagaimana setiap hari sekolah diserang—seperti Sekolah Al-Jarjawi, rumah-rumah penduduk dihancurkan, dan tenda-tenda pengungsi di Khan Younis dibombardir tanpa ampun.

Tragedi terbaru terjadi Senin dini hari. Sedikitnya 30 pengungsi—mayoritas anak-anak—syahid akibat serangan udara Israel yang menghantam Sekolah Fahmi Al-Jarjawi di lingkungan Ad-Daraj, Kota Gaza. Puluhan lainnya luka-luka.

Dihancurkan dalam Dua Cara

Al-Homsh mengungkap bagaimana Israel meruntuhkan sistem kesehatan Gaza dalam dua langkah mematikan: serangan langsung dan penghancuran perlahan. Rumah sakit-rumah sakit dihancurkan secara brutal lewat serangan udara. Sementara itu, bantuan medis, obat-obatan, dan peralatan penyelamat jiwa diblokade total—membunuh dengan cara yang lebih sunyi, namun tak kalah mematikan.

“Ini adalah pembantaian dua arah,” tegasnya.

Rumah Sakit Jadi Ruang Kematian

Kondisi di rumah sakit saat ini ia gambarkan sebagai bencana mutlak. Setiap ranjang terisi penuh oleh luka dan tangis, terutama di ruang perawatan intensif. “Satu-satunya saat tempat tidur kosong adalah ketika pasien di atasnya syahid,” ujarnya dengan suara berat.

Penutupan sejumlah rumah sakit semakin memperparah keadaan. Salah satu yang paling krusial adalah keluarnya Rumah Sakit Gaza Eropa dari layanan, yang sebelumnya memiliki lebih dari 250 ranjang dan menyediakan layanan spesialis langka yang tak ada di tempat lain di Gaza.

“Kini kami tak tahu harus membawa ke mana pasien kanker,” keluhnya. “Kami butuh ruang isolasi untuk memberikan kemoterapi. Tapi kami bahkan tidak punya ruang konsultasi bagi dokter untuk menerima pasien-pasien ini.”

Tak hanya itu. Rumah sakit kini kewalahan menangani pasien bedah toraks, operasi tulang belakang, dan cedera otak. “Bahkan perawatan intensif anak dan bangsal anak-anak di rumah sakit Eropa sudah lumpuh,” jelasnya.

Kelaparan Mengintai di Lorong Rumah Sakit

Dr. Al-Homsh juga menyoroti krisis gizi yang terus memburuk. Pasien-pasien dengan gejala malnutrisi dan kelaparan terus berdatangan ke Rumah Sakit Nasser. Ini adalah buah pahit dari perang kelaparan yang disengaja oleh Israel—bukan sekadar blokade, tapi senjata penghancur secara biologis.

Kematian Menanti di Ujung Lorong

Kesaksian Dr. Al-Homsh bukan sekadar laporan medis. Ini adalah potret luka kolektif rakyat Gaza, di mana sistem kesehatan telah runtuh, fasilitas dihancurkan, dan harapan digerus hari demi hari.

Di ruang-ruang rumah sakit yang sunyi dan pengap itu, pasien dan luka-luka kini hanya bisa menunggu satu hal: kematian yang tidak lagi menakutkan, tapi terasa melegakan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here