Bulan Ramadan kembali tiba bagi warga Gaza dalam kondisi yang sangat sulit untuk tahun kedua berturut-turut. Sebagian besar penduduk kehilangan tempat tinggal akibat agresi Israel, hidup di antara puing-puing rumah mereka atau bertahan di tenda-tenda darurat yang tak layak huni.
Hari pertama Ramadan tahun ini diwarnai dengan buka puasa bersama, tetapi bukan di rumah mereka seperti dulu. Di Rafah dan lingkungan Shujaiya, warga Palestina berbuka di atas reruntuhan rumah mereka yang hancur akibat perang. Di bagian utara Gaza, mereka menggelar buka puasa bersama di sekitar Rumah Sakit Kamal Adwan, di tengah kehancuran total yang melanda permukiman di sekitarnya.
Di Khan Younis, beberapa keluarga memilih duduk di antara puing-puing rumah mereka untuk berbuka puasa, sebagai simbol keteguhan dan penolakan terhadap upaya pengusiran paksa. Meski diterpa penderitaan, semangat Ramadan tetap terjaga—para musahharati (penabuh genderang sahur) kembali berkeliling membangunkan warga di malam hari, sementara lentera-lentera Ramadan digantung di sisa-sisa tembok rumah yang runtuh.
Suasana Ramadan juga diwarnai dengan nyanyian dan lantunan religi, membawa sedikit kebahagiaan bagi anak-anak Gaza. Namun, di balik itu, Israel terus menghambat masuknya bantuan kemanusiaan, termasuk 200 ribu tenda dan 60 ribu rumah darurat bagi para pengungsi, melanggar kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari lalu.
Sejak 7 Oktober 2023 hingga 19 Januari 2025, Israel telah melakukan genosida di Gaza, menewaskan lebih dari 160 ribu warga Palestina—kebanyakan perempuan dan anak-anak—dan menyebabkan lebih dari 14 ribu orang hilang. Gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari mencakup pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel dalam tiga tahap, masing-masing berlangsung 42 hari, dengan mediasi Mesir, Qatar, dan dukungan AS.