Spirit of Aqsa, Palestina- Parlemen zionis Israel mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk mencabut kewarganegaraan atau tempat tinggal tetap warga Palestina yang dituduh melakukan “tindakan teror” dan menerima uang dari Otoritas Palestina (PA).

Ini mengundang reaksi dari kelompok hak asasi manusia, menyebut undang-undang yang diusulkan itu sebagai tindakan “pembersihan etnis”. RUU tersebut melewati interpretasi pertamanya dengan 86 dari 120 suara mendukung, baik dari pemerintah sayap kanan maupun oposisi. Perlu melewati tiga interpretasi agar menjadi undang-undang.

Anggota parlemen penjajah Israel mengatakan bahwa mereka menargetkan mereka yang “tidak loyal” kepada negara dan diduga menerima pembayaran sebagai imbalan untuk melakukan serangan. Aktivis HAM lantas mengecam RUU itu dengan mengatakan undang-undang tersebut hanya akan berlaku untuk warga Palestina Israel, dan upaya untuk “membersihkan etnis” populasi ini dari Israel.

“Undang-undang dalam bentuk awalnya merupakan upaya untuk menghindari hukum internasional – dan bahkan hukum Israel – yang tidak mengizinkan pengusiran warga negara tanpa kehadiran negara lain yang memberi mereka kewarganegaraan atau tempat tinggal,” kata penulis dan tahanan yang dibebaskan, Ameer Makhoul.

“Undang-undang itu berarti pembersihan etnis secara bertahap, dimulai dengan individu dan kemudian diperluas cakupannya,” imbuhnya seperti dikutip dari New Arab, Rabu (1/2/2023).

RUU tersebut menindaklanjuti kesepakatan yang dibuat antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mitra koalisi sayap kanannya untuk mengajukan undang-undang guna mengusir “teroris”. Ini lebih jauh dari undang-undang yang ada dengan menyatakan bahwa individu akan diusir ke wilayah Otoritas Palestina setelah hukuman mereka dijalani.

“Pencabutan kewarganegaraan dan izin tinggal tetap melanggar hak paling mendasar di bawah hukum internasional,” kata Adalah, Pusat Hukum untuk Hak Minoritas Arab di Israel, dalam sebuah pernyataan awal bulan ini.

“RUU ini berupaya memperluas kebijakan lama Israel untuk menciptakan dua jalur hukum terpisah berdasarkan identitas rasial, karena negara merancang langkah ini untuk digunakan secara eksklusif terhadap warga Palestina,” sambung pernyataa itu.

Penjajah Israel sebelumnya telah mendeportasi pembela hak asasi manusia Palestina Salah Hammouri ke Prancis pada bulan Desember setelah mencabut izin tinggalnya, tindakan yang digambarkan sebagai “kejahatan perang” oleh Amnesty International. Lebih dari 700 ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka selama penjajah Israel pada 1948, banyak di antaranya ke Gaza, Tepi Barat, dan negara-negara Arab.

Invasi Israel ke Tepi Barat pada tahun 1967 menyebabkan gelombang pengungsi lain ke negara-negara tetangga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here