PALESTINA- Setiap hari, Anas dan Osama Al-Ghoul berjalan sekitar 700 meter untuk mencapai satu-satunya sumur di lingkungan mereka di Kamp Pengungsi Al-Shati di barat Kota Gaza, Jalur Gaza utara. Dua bersaudara itu berjalan jauh untuk mengisi galon-galon plastik dengan air.

Mendapatkan air sangat sulit bagi warga Gaza, terutama di Jalur Gaza utara akibat kerusakan akibat pengeboman yang dilakukan militer Israel infrastruktur, termasuk sumur-sumur air dan pembangkit air tawar.

Anas (18 tahun) bertanggung jawab atas penyediaan air asin untuk kebersihan dan keperluan rumah tangga. Sementara adiknya, Osama (14 tahun), bertugas menyediakan air tawar untuk diminum.

“Kami mencoba untuk menerima kenyataan bahwa air asin dan air tawar adalah satu-satunya pilihan kami, padahal kenyataannya, semua air yang kami gunakan di Gaza tidak cocok untuk kebutuhan,” kata Yasri, ayah kedua anak tersebut, dikutip dari Aljazeera Arabic, Jumat (22/3/2024).

Yasir bersama keluarganya saat ini tinggal di Kamp Al-Shati dekat pantai. Mereka terpaksa bertayamun setiap kali mau shalat, karena krisis parah. Sumur di daerah tersebut telah jadi target pengeboman. Ditambah krisis bahan bakar, sehingga sangat sulit mengoperasikan sisa sumur yang tersisa.

“Sumur-sumur pribadi seperti ini telah menjadi satu-satunya sumber air bagi sebagian besar penduduk kota, untuk digunakan dalam kebersihan pribadi dan keperluan rumah tangga lainnya,” ujar Yasri.

Namun, mendapatkan air tawar menjadi tugas yang lebih sulit. Hanya sedikit toko air yang mulai beroperasi, tapi kualitas airnya rendah dan membutuhkan penyulingan ulang, sementara krisis bahan bakar menjadi hambatan.

Penghancuran yang Disengaja

Sejak awal pembantaian di Jalur Gaza, Israel telah menggunakan air sebagai senjata untuk membunuh warga Gaza. Israel menghentikan pasokan air dari perusahaan air ‘Merokot’ dan dengan sengaja menghancurkan sumber-sumber air lokal seperti sumur-sumur dan pembangkit air tawar, terutama di Kota Gaza, Jalur Gaza utara.

Menurut jurubicara pemerintahan Kota Gaza, Husni Mahna, 40 sumur hancur dari total 76 sumur, sembilan tangki air, 42.000 meter jaringan pipa air, dan 500 pompa air.

Jumlah air per kapita berkurang hanya dua liter per hari, padahal sebelumnya mencapai 90 liter sebelum perang, karena “kerusakan dan kerugian besar pada fasilitas dan jaringan air,” kata Mahna. Sementara, pemerintah kota saat ini hanya mengoperasikan sedikit sumur untuk beberapa jam setiap kali ada bahan bakar yang tersedia.

Sumber Air Gaza

Sebelum perang, Pemerintah Kota Gaza melayani sekitar 700.000 penduduk, yang meningkat menjadi satu juta orang pada siang hari. Sementara, saat ini hanya sedikit kurang dari setengah juta orang yang tinggal di sana – menurut perkiraan Mahna – yang terdiri dari penduduk asli dan keluarga pengungsi dari daerah lain.

Mahna menjelaskan, air di Kota Gaza berasal dari tiga sumber utama: saluran perusahaan air Israel “Mekorot” yang menyediakan sekitar 25% dari kebutuhan air minum kota, yang telah berhenti pada awal perang.

Kedua, sumur-sumur air tanah yang menyediakan sekitar 65% dari kebutuhan kota, tetapi sekitar 40 sumur telah dihancurkan oleh militer Israel yang sebelumnya menghasilkan sekitar 60% dari total air kota. Sisa air sulit diproduksi karena kurangnya bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikan sumur-sumur tersebut.

Sumber ketiga, Pembangkit Air Tawar di utara Gaza yang menyediakan sekitar 10% dari kebutuhan harian kota tersebut, yang juga sudah tidak beroperasi karena dibom oleh Israel.

Situasi Kelam di Rafah

Rafah, salah satu kota terkecil di wilayah tersebut, yang menampung sekitar 1,3 juta penduduk dan pengungsi, terlihat dalam situasi yang kelam. Pemerintah Kota Rafah berjuang keras untuk menyampaikan air ke rumah-rumah melalui program distribusi mingguan, air hanya sampai ke setiap daerah sekali seminggu untuk beberapa jam saja.

Menurut Hamza Abu Mustafa, seorang pengungsi dari Khan Yunis yang tinggal di kamp Shaboura, air yang mereka terima lemah dan hanya datang sekali seminggu. Mereka tidak bisa mengisi tangki air, karena airnya sangat asin dan hanya bisa digunakan untuk keperluan rumah tangga.

Untuk air tawar, Hamza harus mengambil dari sebuah pabrik desalinisasi gratis. Dia membawa beberapa galon setiap hari dengan kereta dorong dan pergi ke pabrik yang berjarak sekitar 400 meter.

Walikota Ahmed Sufi mengatakan, Rafah secara utama bergantung pada air tanah, dengan defisit permanen sekitar 40% di dalam akuifer. Sekarang, kota ini menghadapi defisit air yang melebihi 70% dalam pasokan air untuk rumah tangga.

Menurut Sufi, banyak sumur telah keluar dari layanan karena airnya terlalu asin, karena kedalaman akuifer di bawah permukaan laut, dan juga karena defisit air tawar yang besar. Situasi air saat ini sebagai bencana, setiap orang hanya mendapatkan sekitar 10 liter air per hari, 10% di bawah standar internasional yang diakui.

Situasi di Rafah dan Gaza mencerminkan kondisi di seluruh wilayah tersebut. Krisis air telah lama berlangsung akibat pembatasan blokade dan perang yang berulang kali, serta penurunan infrastruktur.

Warga Gaza, sekitar 2,2 juta orang, membutuhkan 3 juta liter air setiap hari, dan memiliki 3 sumber utama air, menurut Zuhdi Al-Ghreiz, asisten ketua Komite Darurat Pusat. Namun, 22 juta liter yang diproduksi oleh ketiga sumber tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk, yang mencari air dari sumur-sumur yang tidak layak, baik milik pemerintah maupun pribadi.

Dengan ada pembantaian, krisis semakin dalam dengan pemotongan pasokan air oleh Israel dan penargetan sumur-sumur dan pabrik desalinisasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here