“Lensa kami merekam nyala api, tapi mata kami sendiri terbakar. Kami berjalan dengan tubuh lapar, hati bergetar, dan anak-anak kami menangis kelaparan.”

Begitu pengakuan Fadi Thabet, jurnalis foto dari Gaza yang tak lagi hanya menjadi saksi penderitaan, tapi kini ikut tenggelam di dalamnya.

Fadi bukan hanya seorang pewarta. Ia adalah seorang ayah, seorang suami, yang setiap hari bertarung demi satu gambar dan sepotong roti. Ia keluar dari tendanya dengan mengenakan rompi bertuliskan PRESS yang lebih banyak menyembunyikan tulang-belulang kelaparan daripada melindunginya dari peluru. Ia berjalan menyusuri reruntuhan, mencari cerita di tengah puing-puing, sementara pikirannya terus terganggu oleh wajah putranya yang kelaparan.

Kamera yang Diserahkan demi Hidup

Di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah, Fadi memilih sesuatu yang nyaris tak terpikirkan bagi seorang jurnalis: menukar kameranya dengan sekantong tepung. Satu-satunya kamera yang selamat dari pemboman rumahnya, satu-satunya peninggalan profesinya selama 15 tahun. Dan semua itu dilakukan demi putranya yang baru berusia dua setengah tahun dan istrinya yang tengah hamil tua.

“Anakku berkata, ‘Papa, aku lapar.’ Tapi tak ada sepotong roti pun di tenda. Ia menangis dan bilang, ‘Aku marah padamu.’ Hati saya hancur.”

Menjadi Pengungsi di Tanah Sendiri

Fadi kini tinggal di tenda pengungsian dekat RS Syuhada Al-Aqsa di Deir Al-Balah setelah rumahnya di Juhor ad-Dik hancur digempur pasukan Israel. Ia adalah jurnalis pertama yang rumahnya diluluhlantakkan.

Bersama istri dan anaknya, Fadi bertahan dengan makanan seadanya. Terkadang hanya ada lentil, makaroni, atau bahkan tak ada apa pun. Ia antre berjam-jam di dapur umum yang nyaris tutup semua karena bom dan blokade yang menutup rapat-rapat pintu bantuan sejak 2 Maret.

Sementara itu, istrinya mengalami anemia berat akibat kekurangan gizi. Kandungannya lemah, dan dokter memperingatkan kemungkinan komplikasi saat melahirkan.

Membayar Mahal untuk Sebuah Kebenaran

Kisah Fadi bukan pengecualian. Ia adalah potret ribuan jurnalis Gaza yang memilih tetap di medan perang meski perut kosong, meski anak menangis, dan meski nyawa jadi taruhan.

Menurut data resmi, hingga kini lebih dari 230 jurnalis gugur di Gaza sejak perang dimulai. Puluhan lainnya terluka, cacat, atau dipenjara. Tapi suara mereka belum padam.

“Israel bukan hanya membungkam suara kebenaran dengan peluru,” kata Tahsin Al-Astal, Wakil Ketua Serikat Jurnalis Palestina, “Mereka kini juga melumpuhkan kami dengan kelaparan.”

Serikat jurnalis terus mengadvokasi di forum-forum internasional agar dunia melihat apa yang sesungguhnya terjadi di Gaza. Bahwa di balik setiap gambar yang beredar, ada nyawa yang dipertaruhkan. Ada kamera yang ditukar dengan sekarung tepung. Ada kebenaran yang dibayar dengan darah, air mata, dan kadang, seluruh hidup.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here