Spirit of Aqsa, Tepi Barat – Wacana penjajah Israel mencaplok tanah dari wilayah Palestina di Tepi Barat dinilai membawa bencana baru bagi warga Palestina. Para pejabat dan pengamat menyebut, hal itu bisa mirip dengan eksodus massal warga Palestina pada 1948, yang dikenal sebagai Nakba.

“Pencaplokan Lembah Jordan adalah upaya untuk menyelesaikan bencana tahun 1948 dan untuk sepenuhnya melenyapkan perjuangan Palestina,” kata Hanan Ashrawi, anggota Dewan Legislatif Palestina, seperti dilansir Anadolu Agency.

Peringatan ke-72 Nakba tiba pada saat pemerintah sayap kanan ekstremis di Israel bertekad untuk memperluas wilayahnya ke semua wilayah Palestina. Ashrawi, yang menjabat sebagai juru bicara resmi delegasi Palestina untuk proses perdamaian Timur Tengah pada awal 90-an, menyalahkan pemerintah Amerika Serikat (AS) atas hal itu. Dia mengatakan, AS adalah mitra dalam kejahatan pada saat dunia disibukkan dengan pecahnya Covid-19.

Ia berharap negara-negara Eropa akan berbicara menentang aneksasi. “Ada beberapa langkah internasional dan ancaman terhadap Israel. Ada negara-negara Eropa yang akan bergerak dan tidak akan tinggal diam dalam menghadapi aneksasi,” ucapnya.

“Selain itu, ancaman Yordania baru-baru ini terhadap Israel jika menerapkan aneksasi yang menimbulkan ancaman eksistensial karena aneksasi akan diterapkan di perbatasan Yordania juga,” katanya.

Ashrawi kemudian mengatakan bahwa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) telah mendesak semua lembaga internasional untuk melindungi perjuangan Palestina demi mematuhi hukum dan norma internasional. PLO telah meminta negara-negara Eropa untuk mengambil langkah proaktif yang mendesak untuk mencegah langkah Israel. “Ada pesan yang jelas kepada Israel, bahwa Eropa tidak akan diam tentang aneksasi,” katanya.

Dia menyalahkan Israel karena melakukan pembersihan etnis di Lembah Jordan dan menghancurkan semua yang menjadi milik warga Palestina di sana. Sebanyak 50 ribu warga Palestina yang tinggal di Lembah Jordan memiliki sekitar 12.355 hektar lahan pertanian.

Abdel-Sattar Qassem, dari Universitas Al-Najah di Nablus, mengatakan dia tidak mengharapkan Otoritas Palestina untuk mengambil posisi yang jauh lebih kuat untuk menentang rencana Israel tersebut.

“Pencaplokan itu akan berlalu ketika pemindahan kedutaan Amerika ke Yerusalem disahkan dan pemerintah AS mengakui legitimasi permukiman tersebut. Otoritas akan mengeluarkan pernyataan tetapi tidak akan mengambil langkah-langkah di lapangan,” katanya.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas mengatakan, jika Israel tidak akan mematuhi perjanjian bilateral, Otoritas Palestina juga akan keluar dari perjanjian tersebut. Namun Qasem mengatakan, Otoritas Palestina seharusnya membatalkan perjanjian ini pada 1990 karena Israel telah menggunakan mereka sebagai kedok untuk mengimplementasikan kebijakannya. Dia mengatakan bahwa Otoritas Palestina tidak menyajikan strategi apa pun untuk menghadapi pendudukan.

“Israel menginginkan tanah tanpa orang dan tahap selanjutnya akan menyaksikan tekanan di semua wilayah Tepi Barat dengan membatasi mereka secara politis dan ekonomi untuk memaksa orang beremigrasi. Beberapa orang Arab akan tetap berada di Lembah Jordan, yang akan digunakan sebagai buruh, untuk membantu ekonomi Israel,” tambahnya. (Admin/AA)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here