Di tengah puing-puing dan kehancuran, perlawanan Palestina kembali mengguncang Israel dengan taktik yang semakin matang dan mematikan. Beberapa hari lalu, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, merilis rekaman operasi penyergapan yang sukses menewaskan seorang perwira dan seorang tentara Israel dalam serangan terencana di kawasan Az-Zannah, timur Khan Younis.
Meski militer Israel berusaha membatasi pergerakannya di wilayah-wilayah perbatasan yang telah mereka hancurkan dan kosongkan paksa dari penduduk sipil, aksi penyergapan ini (dan serangkaian serangan serupa di Gaza Timur, Jabaliya, dan Beit Hanoun) menunjukkan bahwa para pejuang Palestina masih aktif memantau dan memetakan pergerakan musuh dengan presisi.
Strategi Bernapas Panjang

Operasi-operasi terbaru ini menunjukkan bahwa faksi-faksi perlawanan di Gaza beralih pada strategi baru: menunggu dengan sabar, mengintai dengan cermat, dan menyerang hanya saat peluang emas datang. Tujuannya jelas: memaksimalkan kerugian di pihak tentara Israel dengan amunisi seminim mungkin.
Menurut seorang komandan lapangan dari faksi perlawanan yang berbicara kepada Al Jazeera, para mujahidin telah memetakan kebiasaan militer Israel sejak agresi kembali dimulai pada 19 Maret lalu. Tentara Israel biasanya menghancurkan bangunan dan infrastruktur terlebih dulu sebelum masuk, tanda bahwa mereka ingin menghindari konfrontasi langsung karena takut akan kerugian.
“Pasukan mereka bergerak sangat lambat dan terbatas di wilayah yang mereka sebut ‘zona merah’. Itu menunjukkan kehilangan motivasi bertempur, karena mereka sudah berulang kali masuk dan keluar dari wilayah yang sama,” kata sang komandan.
Menanti dengan Sabar, Menyergap dengan Akurat
Informasi eksklusif yang diperoleh menyebutkan bahwa komando perlawanan kini lebih memilih menyerang pasukan daripada kendaraan lapis baja. Para mujahidin memantau jalur suplai militer Israel, mempelajari rute mereka, lalu merancang jebakan yang mematikan, menunggu saat di mana sekelompok tentara terkonsentrasi dan merasa ‘aman’.
“Strategi kami bukan mengejar jumlah serangan, tapi mengejar efek kerugian maksimal,” tegasnya.
Serangan di Az-Zannah adalah contoh nyata. Para pejuang memburu tank Israel hanya dengan senjata ringan, memaksa kendaraan baja itu mundur. Keberanian mendekat hingga “jarak nol” menunjukkan tingkat kepercayaan diri dan kecakapan tempur yang luar biasa, bahkan setelah lebih dari 8 bulan perang.
Antara Terowongan dan Reruntuhan
Meskipun Israel mengklaim telah menghancurkan jaringan terowongan bawah tanah milik pejuang Palestina, rekaman serangan terbaru menunjukkan sebaliknya. Terowongan masih aktif (bahkan telah direnovasi dan diarahkan ulang) membuktikan bahwa perlawanan tidak padam, justru semakin licin dan tak terduga.
Lebih dari itu, kerusakan besar-besaran yang ditimbulkan Israel kini justru menjadi tameng bagi para pejuang. Reruntuhan rumah berubah menjadi “gua-gua perang” dan tempat persembunyian yang ideal. Israel tak pernah menduga bahwa dari balik puing-puing yang mereka hancurkan, para pejuang justru siap menyergap kapan saja.
Menguasai Tanah Sendiri, Menghadang dengan Cerdas
Kelebihan besar para pejuang Palestina adalah penguasaan medan tempur. Di saat tentara Israel hanya mengandalkan teknologi dan zona larangan, para mujahidin menjelajahi tanah mereka sendiri dengan naluri dan pengetahuan lokal.
Selagi Israel merasa aman setelah menghancurkan kawasan padat penduduk seperti Rafah, Gaza Utara, dan wilayah timur lainnya, para pejuang justru menjadikan kehancuran itu sebagai ruang manuver baru untuk bertahan, menyusup, dan menyerang.
Sumber: Al Jazeera