Spirit of Aqsa- Pembantaian Israel yang terus berlanjut di Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menyebabkan jumlah korban anak-anak semakin meningkat, sementara penderitaan dan luka mereka semakin dalam.
Masa kanak-kanak yang seharusnya penuh kegembiraan kini berubah menjadi rangkaian peristiwa tragis yang meninggalkan dampak mendalam pada kehidupan dan kesehatan mental mereka. Semua ini terjadi di tengah kondisi hidup yang keras dan pengepungan yang semakin menekan.
Setelah lebih dari 400 hari agresi Israel terhadap Gaza, para pengguna media sosial dan berbagai outlet berita berbagi gambar dan video yang memperlihatkan bagaimana tentara Israel sengaja menargetkan anak-anak di Gaza, yang sudah mengalami pembantaian selama lebih dari 14 bulan.
Tujuan dari penyebaran gambar-gambar ini adalah untuk menyampaikan pesan dan penderitaan mereka kepada dunia serta organisasi hak asasi manusia, agar segera mengambil langkah untuk menghentikan pembantaian ini.
Aktivis dan netizen pun turut bereaksi terhadap kejadian ini. Seorang blogger bernama Khaled Safi menulis di Twitter (sekarang X), “Senjata teknologi canggih Israel terbukti efektif dalam menargetkan sasaran dengan akurasi tinggi, dan itulah yang terjadi dengan bayi Ahmad dan Jamila. Meskipun mereka masih sangat muda dan belum mengenal kehidupan, mereka menjadi korban dalam serangan udara yang menghancurkan rumah mereka di kawasan Sabra, Gaza Selatan.”
Sementara itu, aktivis Tamer membagikan gambar tentang seorang anak yang menjadi korban serangan. Melalui akun X-nya, ia menjelaskan bahwa gambar tersebut memperlihatkan seorang tentara Israel yang mengendalikan pesawat “quadcopter” dari jarak jauh yang meledakkan bom dan membunuh anak bernama Abdul Rahman di kawasan Sheikh Radwan, Gaza Utara.
Jurnalis Palestina, Mohammad Al-Zaanin, juga membagikan gambar di X yang memperlihatkan seorang ibu yang pergi membeli mainan untuk anaknya, namun saat kembali ia mendapati anaknya sudah terbaring dalam darah akibat serangan Israel dan telah meninggal dunia. Ini adalah sebuah kejutan yang tidak akan terlupakan oleh sang ibu, yang menjadi kenyataan pahit yang juga dialami oleh ribuan ibu di Gaza. Sebuah tragedi yang menjadi salah satu kisah kelam dari pembunuhan anak-anak di Gaza.
Jurnalis Palestina lainnya, Abdul Qader Sabah, menuliskan di gambar yang sama, “Ibu itu keluar untuk membeli mainan, berharap bisa melihat senyum anaknya di tengah perang pembantaian ini, namun ia kembali dan mendapati anaknya sudah tergeletak tak bernyawa. Bagaimana hati seorang ibu bisa menahan ini? Di mana impian-impian sederhana musnah, digantikan dengan mimpi buruk yang tak berkesudahan.”
Lebih lanjut, sebuah video menunjukkan seorang ibu yang menggendong bayi setelah melarikan diri dari kawasan Beit Lahiya, Gaza Utara, yang terjebak di pos pemeriksaan yang didirikan oleh tentara Israel untuk memeriksa pengungsi. Ibu tersebut mengatakan bahwa bayinya bersama neneknya yang sudah lanjut usia, namun neneknya terjatuh di pos tersebut dan mereka tidak tahu keberadaannya, sambil menunggu di sana untuk menemukan keluarga nenek tersebut.
Sementara itu, sejumlah aktivis membagikan video yang memperlihatkan seorang ayah yang berduka setelah kehilangan anak bayinya akibat serangan Israel. Dalam video tersebut, ia berkata, “Tuhan memberiku anak ini di tengah perang dan mengambilnya di tengah perang, ini adalah tabunganku di surga. Alhamdulillah.”
Video lainnya menunjukkan seorang ibu yang mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya yang gugur setelah serangan Israel menghancurkan tenda pengungsi di kawasan Al-Bassa, Gaza Barat. Ibu tersebut berkata, “Dia mengenakan pakaian baru, senang memakainya, dan sekarang dia menjadi syahid hari ini.”
Reaksi dari netizen lainnya menunjukkan gambar-gambar anak-anak yang tergeletak di tengah kehancuran, dengan komentar, “Musuh Zionis melakukan kejahatan dan pembantaian yang paling keji di Gaza, sementara para pemimpin Arab dan Muslim menunjukkan pengkhianatan yang paling memalukan.”
Banyak yang berpendapat bahwa ini bukan hal baru bagi Israel. Penargetan anak-anak merupakan bagian dari ideologi yang telah melahirkan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap rakyat Palestina sejak peristiwa Nakba 1948. Ideologi yang sama masih berlangsung hingga kini, terbukti dengan apa yang terjadi dalam agresi terbaru di Gaza, di mana tentara Israel terus membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua.
Menurut laporan PBB, hampir 70% dari korban jiwa akibat serangan Israel terhadap Gaza antara November 2023 hingga April 2024 adalah perempuan dan anak-anak, berdasarkan analisis sampel yang mewakili korban. Anak-anak menjadi kelompok yang paling banyak mewakili kematian yang telah diverifikasi. Kelompok usia yang paling terwakili adalah anak-anak berusia 5 hingga 9 tahun, 10 hingga 14 tahun, bayi, dan anak-anak yang berusia 0 hingga 4 tahun.
James Elder, juru bicara UNICEF, sebelumnya mengatakan kepada wartawan di Jenewa bahwa perang di Gaza menyebabkan kematian 40 anak setiap hari sepanjang tahun lalu, dan menyebut situasi di Gaza sebagai “neraka di bumi.”
Sumber: Al Jazeera