Spirit of Aqsa, Palestina- Krisis pangan di Jalur Gaza yang menyebabkan bencana kelaparan semakin memburuk menimpa lebih dari dua juta murabith saat memasuki bulan keempat perang Israel di wilayah tersebut, lapor surat kabar Inggris Financial Times.

Ini terjadi di tengah peringatan dari lembaga-lembaga PBB bahwa bencana kelaparan mengintai di depan mata. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan, bayangan kelaparan menghantui penduduk Gaza, bersamaan dengan ancaman penyakit, malnutrisi, dan ancaman kesehatan lain.

Seorang pengungsi dari Jalur Gaza utara ke Rafah, Amal Muhammad, menceritakan kondisi anak-anaknya sebelum teroris Israel melakukan pembantaian di Jalur Gaza. anak-anaknya bisa bermain sambil menyelesaikan makan malam.

“Namun, mereka sekarang sangat membutuhkan makanan, tetapi dia hampir tidak dapat memberi mereka makan,” ujar Amal.

“Kami berpura-pura di depan anak-anak bahwa kami tidak lapar atau terlalu sibuk, sehingga kami tidak bisa makan.”

Harga-harga meningkat

Menurut Amal, harga-harga bahan makanan dan kayu bakar untuk memasak telah meningkat secara signifikan. Hal itu membuat konsumsi daging menjadi “impian”. Sementara, para orang tua membatasi jatah makan agar anak-anak bisa makan.

“Kami semua kehilangan berat badan,” ujar Amal.

Penduduk Gaza sekarang bergantung hampir sepenuhnya pada bantuan luar yang dibawa melalui dua titik masuk, Rafah di perbatasan dengan Mesir, dan Kerem Shalom di perbatasan dengan Israel. Pertanian perdagangan di wilayah Palestina mengalami kerugian, sementara bantuan, termasuk tepung, minyak, beras, kacang-kacangan, dan makanan kaleng, sebagian besar disalurkan ke gudang PBB untuk didistribusikan kepada pengungsi, yang terkadang harus berdiri dalam antrean selama berjam-jam untuk mendapatkan makanan.

Wakil Direktur Operasional UNRWA di Gaza, Scott Anderson, mengatakan, Israel telah mulai mengizinkan beberapa kiriman komersial ke Gaza, tetapi itu tidak cukup. Maka itu, dia memperingatkan tentang bencana yang semakin memburuk dan meminta Israel untuk membuka lebih banyak lintasan dan menyederhanakan proses pemeriksaan truk.

“Serangan terus-menerus oleh Israel menghambat distribusi makanan,” kata Scott.

Mati karena Kelaparan

Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia, Cindi McCain, mengatakan, orang-orang di Gaza menghadapi ancaman kematian kelaparan hanya beberapa mil dari truk-truk penuh makanan. Krisis kelaparan dapat dicegah jika pasokan yang cukup dan akses aman ke semua yang membutuhkan dapat disediakan.

Menurut penilaian Program Pangan Dunia, semua penduduk Gaza menghadapi “krisis atau tingkat keamanan pangan yang lebih buruk,” sementara lebih dari 500 ribu orang menghadapi “bencana,” didefinisikan sebagai kekurangan pangan yang parah.

Pada Desember 2023, organisasi “Human Rights Watch” menyebut Israel menggunakan kelaparan sebagai “alat perang” di Gaza. Israel dengan sengaja menghalangi pengiriman air, makanan, dan bahan bakar.

Koordinator Bantuan PBB, Martin Griffith, mengatakan, bencana kelaparan hampir terjadi dan penyakit menyebar di tempat pengungsian yang padat. Orang-orang menghadapi tingkat keamanan pangan yang tertinggi yang pernah tercatat.

Rak-rak Kosong

Menurut laporan Financial Times, rak-rak toko kelontong di Jalur Gaza kosong dari semua barang kecuali beberapa bahan makanan dasar seperti daging kaleng, kacang, dan keju. Hampir tidak ada yang memiliki pendapatan, membuat harga-harga lebih tinggi dari kemampuan mereka.

Makanan segar seperti telur dan susu sekarang jarang dan harganya tinggi, dengan harga satu baki telur (30 butir) mencapai 90 shekel (24 dolar) sebelum turun menjadi sekitar 50 shekel (13,36 dolar), masih tiga kali lipat dari harga sebelum perang. Sementara harga susu sekitar 12 shekel per liter (3,21 dolar), dua kali lipat harga sebelum perang.

Anderson mengatakan bahwa tingkat kelaparan “semakin buruk seiring bergerak ke utara,” dengan kemungkinan terjadinya kelaparan segera di daerah utara yang hancur, di mana sekitar 300 ribu orang masih belum menerima bantuan secara signifikan.

Dia mengatakan, sulit mendapatkan izin dari Israel untuk mengirimkan bantuan ke utara. Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazarini, menjelaskan, banyak pengungsi mendekati truk bantuan untuk mengambil makanan langsung tanpa harus menunggu distribusi, dan ketika Israel memperbolehkan distribusi, truk-truk sudah hampir kosong.

Relawan yang Tak Berdaya

Financial Times mengungkapkan, rata-rata 100 truk masuk per hari. Akan tetapi, kebutuhan para murabith di Jalur mencapai 600 truk pasokan bantuan tiap hari.

Di Rafah, di mana 1,2 juta pengungsi tinggal di apartemen yang padat dan di fasilitas PBB serta tenda, sukarelawan keluar ke jalan-jalan untuk memasak makanan dengan kayu bakar dan memberi makan orang-orang.

Financial Times mengutip seorang koki bernama Bakr Najji, yang mengatakan bahwa kelompok sukarelawan 25 orang menggunakan bahan makanan yang didonasikan untuk mempersiapkan 10 ribu hidangan setiap hari.

 “Saya merasa sedih ketika persediaan kita habis dan anak-anak masih menunggu, tetapi kita tidak punya apa-apa untuk mereka,” ujar Bakr.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here