Sebuah laporan tajam dari Calcalist, media ekonomi terkemuka Israel, menggambarkan fenomena yang kian sulit dibantah: “tsunami diplomatik” yang menggerus fondasi ekonomi Israel, khususnya di sektor industri dan teknologi, dengan pasar Eropa sebagai episentrum guncangan.

Akar masalahnya bukan sekadar fluktuasi dagang, melainkan perang berkepanjangan di Gaza yang telah memasuki bulan ke-22, disertai krisis kemanusiaan yang memicu gelombang boikot, penundaan kontrak, dan eksklusi sistematis dari panggung bisnis global. Di berbagai ruang perundingan Eropa, Israel mulai diperlakukan bukan sebagai mitra dagang, tetapi sebagai anggota baru “klub negara terbuang”.

Kontrak Gugur, Identitas Disembunyikan

Seorang direktur perusahaan industri besar di Israel mengaku kepada Calcalist kehilangan tender bernilai jutaan dolar di Eropa, bukan karena kalah bersaing secara teknis, tetapi karena penolakan politis. Dalam kasus lain, kontrak hanya bisa diselamatkan setelah identitas Israel produk tersebut disamarkan dan seluruh proses dijalankan secara “bawah radar”.

Jejak di Pasar Global yang Memudar

Perusahaan senjata Israel yang selama puluhan tahun menguasai pangsa pasar Eropa kini mendapati kontrak-kontrak ditunda tanpa batas. Pameran industri pertahanan yang dulu menjadi ajang unjuk gigi kini sepi, kunjungan delegasi asing menurun, dan kehadiran Israel di arena global makin samar.

Angka ekspor senjata 2024 memang memecahkan rekor (US$14,8 miliar, lebih dari setengahnya ke Eropa) tetapi capaian itu terancam terhapus oleh gambar-gambar kelaparan dan kehancuran di Gaza yang membanjiri media internasional.

Persaingan Geopolitik dan Tekanan Politik

Di belakang layar, persaingan sengit membentuk lanskap baru. Presiden AS Donald Trump mendorong negara-negara NATO menaikkan anggaran pertahanan hingga 5% PDB, sebagian besar diarahkan ke industri militer AS. Presiden Prancis Emmanuel Macron memanfaatkan momentum dengan menutup pintu pameran senjata bagi perusahaan Israel selama dua tahun terakhir.

Pemerintah Netanyahu: “Terputus dari Realitas”

Sementara itu, Calcalist menyebut pemerintah Netanyahu sibuk dengan agenda politik internal (dari upaya mencopot penasihat hukum hingga membebaskan kelompok religius dari wajib militer) alih-alih mengatasi krisis diplomatik yang kian mengisolasi Israel. Retorika ekstrem para menteri seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, yang menyerukan “menghapus Gaza” dan memperluas permukiman, dinilai memperparah posisi Israel di hadapan hukum internasional.

Bahkan Jerman (sekutu historis terdekat) mulai berjarak, terutama setelah Ben-Gvir menuding Berlin “kembali mendukung Nazi” akibat rencana mereka mengakui Palestina.

Isolasi Menjalar ke Asia

Keretakan tak hanya terjadi di Eropa. Di Filipina, kontrak pertahanan ditangguhkan akibat keterlambatan pengiriman perlengkapan militer, memicu ketegangan diplomatik. Posisi Israel kini terancam kalah dari pesaing Prancis dalam tender besar di negara itu.

“Pasar yang Hilang, Mungkin Hilang Selamanya”

Ketua Asosiasi Industri Israel, Ron Tomer, memperingatkan: gelombang permusuhan yang kini dihadapi Israel bersifat eksponensial, bukan sekadar tren sesaat. Pasar yang ditinggalkan hari ini mungkin tak akan kembali, bahkan setelah perang usai. Kerusakan yang terjadi bukan hanya pada kontrak dan konferensi, tetapi pada modal kepercayaan yang menjadi jantung perdagangan global.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here