Di satu sisi, Israel merayakan kesepakatan teknologi terbesar dalam sejarahnya: penjualan perusahaan keamanan siber CyberArk ke raksasa AS, Palo Alto Networks, senilai 25 miliar dolar. Di sisi lain, negara itu menghadapi keruntuhan diplomatik yang semakin cepat, bank-bank menolak transaksi, pasar menutup pintu, seruan sanksi menguat, dan gelombang emigrasi menggerogoti modal manusia. Dua realitas yang berseberangan ini, tulis Calcalist, berpadu menjadi satu potret rapuh: sebuah negara yang ekonominya tak lagi kebal dari badai politik.
Dari Bank ke Pasar Global: Pintu-pintu yang Tertutup
Contoh paling telanjang datang dari Portugal. Seorang pengusaha teknologi Israel ditolak membuka rekening di Santander (bank terbesar kedua di Eropa) hanya karena paspornya. Alasannya dingin dan resmi: Israel dikategorikan sebagai “wilayah konflik”. Keputusan ini, kata sumber anonim di Kementerian Ekonomi Israel, bukan insiden sepele. Santander memiliki lebih dari 8.000 cabang di Eropa, Amerika Latin, Amerika Utara, Asia, dan Afrika Utara. Sinyalnya jelas: eksklusi finansial kini bukan ancaman abstrak, melainkan kenyataan yang menghantui industri Israel.
Eropa Memalingkan Wajah
Dalam waktu singkat, sejumlah mitra dagang utama (Prancis, Inggris, Kanada, Jerman) menyatakan niat mengakui negara Palestina. Sebagian bahkan mendorong pembatalan perjanjian dagang dan pengenaan sanksi. Dari Irlandia hingga Norwegia, dari Swedia hingga Portugal, arus kebijakan ini mengikis hubungan dagang yang nilainya mencapai 72 miliar dolar per tahun, lebih dari 12% PDB Israel. Angka ini mencakup ekspor barang, jasa, dan teknologi, termasuk 13 miliar dolar ekspor teknologi ke Eropa yang menjadi urat nadi ekonomi digital Israel.
Migrasi Sebagai “Voting dengan Kaki”
Tekanan tak hanya datang dari luar. Di dalam negeri, retakan sosial makin menganga. Kelompok berpendidikan tinggi dan sektor teknologi (yang oleh Calcalist disebut sebagai “Israel lama”) memilih hengkang. Pada 2023, jumlah aplikasi emigrasi melonjak 50%, mencapai 55.300 orang. Startup pun ikut angkat kaki; hingga 80% perusahaan baru tahun lalu berdiri di luar Israel. Uang masih mengalir masuk, tapi Calcalist mengingatkan: yang dijual hari ini dibangun selama puluhan tahun, sementara kehancuran bisa datang dalam hitungan bulan.
Dua Israel, Satu Masa Depan yang Runtuh
“Israel lama” yang liberal dan kosmopolitan tengah menjual pencapaiannya. “Israel baru” (yang lebih tertutup, politis, dan otoriter) mengatur anggaran demi kepentingan kelompok, mempertahankan perang tanpa batas waktu, dan kehilangan pijakan di mata dunia. Seperti ditulis Calcalist, negeri ini sedang berjalan dengan kakinya sendiri menuju tepi jurang.