Spirit of Aqsa, Palestina- Kelompok kemanusiaan Euro-Med Human Rights Monitor melaporkan dampak besar genosida di Gaza terhadap kehidupan akademik rakyat Palestina. Berdasarkan perkiraan awal, serangan Israel ke Jalur Gaza membuat ratusan mahasiswa dan akademisi syahid, selain menghancurkan gedung universitas.
“Sulit memulihkan kehidupan universitas dan akademik ketika genosida berakhir,” kata lembaga itu dalam pernyataannya seperti dikutip dari Palestine Chronicle, Selasa (23/1).
Euro-Med Human Rights Monitor memprediksi butuh waktu bertahun-tahun untuk memulihkan kehidupan akademik di wilayah yang benar-benar hancur. Lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut melaporkan bahwa berdasarkan data Kementerian Pendidikan Palestina, ada 4.327 siswa syahid dan 7.819 lain terluka dalam serangan Israel di Gaza.
Sementara itu, 231 guru dan administrator syahid dan 756 terluka. Sebanyak 281 negeri dan 65 sekolah yang dikelola badan pengungsi PBB di Palestina (UNRWA) sepenuhnya hancur.
90% sekolah negeri rusak sebagian atau hancur total. Sekitar 29 persen bangunan sekolah masih tidak bisa berfungsi karena rusak sebagian atau benar-benar hancur. Sementara itu, 133 sekolah menjadi tempat penampungan sementara.
“Serangan menyebar dan disengaja oleh Israel menghancurkan properti budaya dan bersenjarah Palestina, termasuk universitas, sekolah, perpustakaan, dan arsip-arsip, hal ini menunjukan kebijakan nyata Israel untuk membuat Jalur Gaza tidak dapat dihuni,” kata Euro-Med Monitor.
Serangan Israel juga memutus akses warga Gaza ke layanan dasar dan memaksa warga mengungsi.
“Menyerang objek sipil dengan pasukan bersenjata, terutama pada artefak bersejarah dan budaya yang dilindungi undang-undang khusus, tidak hanya melanggar hukum humanitarian internasional dan merupakan kejahatan perang berdasarkan Statuta Roma Mahkamah Internasional, tapi juga merupakan kejahatan genosida,” kata Euro-Med Monitor.
Salah satu akademisi dan intelektual Palestina yang dibunuh Israel di Gaza adalah Profesor Sufian Tayeh. Menurut Quds News Network, pada 2021, ia masuk salah satu dari dua persen peneliti terbaik di dunia.
Israel juga membunuh profesor sastra Inggris Refaat Alareer, penulis dan penyair serta pendiri projek We are Not Numbers. Euro-Med Monitor yang mengumpulkan informasi dari saksi mata dan keluarga menyebut bahwa “Refaat dan keluarganya dibom bersama seluruh bangunan apartemen tempat mereka berlindung.”
“Refaat salah satu inspirasi saya di Gaza, tidak hanya brilian dan memukau, ia orang yang sangat baik dan tulus,” kata penulis dan intelektual kelahiran Gaza, Ramzy Baroud.
Sebelum meninggal, Alareer menuliskan beberapa pemikirannya di media sosial X. “Bila saya mati, saya harus menyampaikan kisah saya, bila saya harus mati, biarkan membawa harapan, biarkan menjadi kisah,” tulisnya pada 2011 yang dipublikasikan di media sosial X pada 1 November 2023.