Spirit of Aqsa, Jalur Gaza– Banyak dari korban pembantaian yang dilakukan teroria Israel adalah anak-anak dan wanita. Menurut data Unicef, sekitar 1.000 anak telah diamputasi anggota badannya akibat ledakan. Mirisnya, amputasi tersebut dilakukan tanpa anestesia.
“Hal ini menunjukkan bahwa mengizinkan penembakan berkelanjutan di Gaza berarti memberi lampu hijau untuk membunuh lebih banyak anak,” kata Unicef dilansir dari Middle East Monitor, Jumat (29/12).
Serangan-serangan itu juga membuat banyak wanita hamil harus melahirkan prematur. Mereka melahirkan bayi lebih awal karena stres yang dialami akibat perang.
Salah satunya Iman Al Masry yang melahirkan empat bayi kembarnya lebih awal, setelah menderita peningkatan stres saat berada di kamp pengungsian. Dia dipaksa meninggalkan rumahnya oleh kampanye pengeboman Israel tanpa henti.
Dia juga berjuang untuk menemukan makanan dan air yang cukup, membahayakan kesehatan bayinya yang belum lahir.
Iman melahirkan pada usia janin delapan bulan dan menjalani operasi caesar darurat. Tiga dari bayi dapat kembali ke tempat penampungan bersamanya tetapi yang keempat tetap di unit neonatal.
Pada Senin, Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa 50 ribu wanita hamil saat ini tinggal di pusat pengungsian tanpa makanan atau perawatan kesehatan. Sekitar 180 lainnya melahirkan setiap hari dalam kondisi yang tidak aman dan tidak manusiawi.
Pada 17 Desember, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “ribuan wanita hamil dan menyusui di Gaza menghadapi risiko kematian,” memperingatkan bahwa “kekurangan makanan yang parah di Gaza membuat wanita hamil dan menyusui terpapar risiko anemia, preeklampsia, perdarahan, dan bahkan kematian.”