Meningkatnya jumlah tentara Israel yang tewas di Gaza, termasuk tujuh orang yang tewas dalam satu serangan terbaru, menambah tekanan besar terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk segera menghentikan perang dan mencapai gencatan senjata permanen di Jalur Gaza, yang kini memasuki hampir dua tahun tanpa akhir.
Sejumlah laporan pada Rabu (26/6) menyebutkan bahwa serangan terbaru yang menewaskan 7 tentara di selatan Gaza bisa menjadi pemicu baru bagi meningkatnya desakan baik dari oposisi, publik, maupun keluarga para sandera Israel.
Netanyahu telah lama berada di bawah tekanan sejak serangan 7 Oktober 2023, yang dinilai sebagai kegagalan keamanan paling serius dalam sejarah Israel. Popularitasnya anjlok tajam. Namun ironisnya, sebagian laporan media seperti Reuters menyebut popularitas Netanyahu sempat pulih setelah perintah mendadak untuk menyerang Iran, aksi yang disebut sebagian kalangan sebagai “pukulan telak terhadap musuh lama Israel.”
Ketegangan Politik di Tengah Desakan Gencatan Senjata
Meski gencatan senjata antara Israel dan Iran diumumkan kemarin, agresi Israel terhadap Gaza belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Dua menteri sayap kanan (Itamar Ben Gvir (Menteri Keamanan Nasional) dan Bezalel Smotrich (Menteri Keuangan)) masih mendorong agar perang terus dilanjutkan.
Namun, koalisi sayap kanan Netanyahu yang kini hanya menguasai mayoritas tipis di Knesset menjadikannya sangat bergantung pada kelompok ultranasionalis. Banyak yang menilai Netanyahu melanjutkan perang bukan demi tujuan strategis, tapi demi kelangsungan politiknya sendiri.
Pertanyaan paling tajam datang dari dalam pemerintahan sendiri. Ketua Komite Keuangan Knesset, Moshe Gafni, dari partai koalisi Yahadut HaTorah, menyatakan kebingungannya atas kelanjutan perang.
“Ini hari yang sangat menyedihkan, tujuh tentara tewas. Saya benar-benar tidak mengerti, kenapa kita masih berperang di Gaza? Untuk apa?” tanyanya di depan parlemen hari ini.
“Siapa yang Tak Inginkan Kesepakatan, Dia Korbankan Prajurit”
Yair Golan, pemimpin Partai Demokratik Israel, menyebut saatnya telah tiba untuk menghentikan perang Gaza lewat perjanjian damai. “Siapa pun yang menolak kesepakatan demi kepentingan politik pribadi telah mengkhianati tentara dan para sandera. Ia sedang merusak keamanan Israel sendiri.”
Desakan juga datang dari Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang, yang pekan ini meminta Amerika Serikat untuk turun tangan mendorong tercapainya kesepakatan menyeluruh dengan Hamas. Saat ini, diperkirakan masih ada 20 sandera Israel hidup dan 30 jenazah lainnya yang masih ditahan di Gaza.
Sementara Hamas berulang kali menunjukkan kesiapan untuk mencapai kesepakatan pertukaran tahanan dalam konteks gencatan senjata permanen dan penarikan pasukan Israel dari Gaza, Netanyahu justru mengajukan tuntutan tambahan: pelucutan senjata Hamas dan tidak adanya peran politik Hamas di masa depan Gaza—tuntutan yang dianggap menghalangi negosiasi.
Perang yang Tak Kunjung Usai, Genosida yang Berlanjut
Perhatian dunia kembali mengarah ke Gaza setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan gencatan senjata antara Israel dan Iran mulai berlaku Selasa kemarin. Namun di sisi lain, militer Israel mengonfirmasi bahwa tujuh tentaranya tewas dalam serangan di Khan Younis, selatan Gaza, pada hari yang sama.
Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, menyatakan pihaknya melakukan penyergapan terhadap pasukan Israel yang memasuki wilayah tersebut dalam sebuah operasi terencana.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel terus melancarkan perang yang menurut berbagai organisasi internasional setara dengan genosida. Serangan militer tersebut telah menewaskan dan melukai sekitar 188.000 warga Palestina, dengan lebih dari 11.000 orang hilang, ratusan ribu mengungsi, dan kelaparan massal yang mulai merenggut nyawa anak-anak.
Sumber: Reuters , Al Jazeera