Spirit of Aqsa- Saat berjuang melindungi keempat anaknya bersama sang suami, Abir Nasrallah terjebak di pos pemeriksaan militer Israel di Gaza Utara. Dalam situasi yang mencekam, para tentara memanggil semua pria berusia 15 tahun ke atas, termasuk suaminya, Naim, dan menahan mereka di lubang besar yang telah digali. Naim, seorang pria berusia 30 tahun yang sehari-hari bekerja di toko bahan pangan, diperintahkan untuk menanggalkan pakaian bersama kelompok lainnya.
Waktu berlalu, dan Abir akhirnya menyadari bahwa suaminya tidak akan kembali, meninggalkannya dalam ketidakpastian nasib suaminya, apakah masih hidup atau telah tiada. Mereka sebelumnya tinggal di Tal Zaatar, Jabalia, tetapi karena serangan militer Israel yang intens sejak awal Oktober, mereka terpaksa mengungsi beberapa kali.
Di dalam tenda pengungsian, Abir bersama anak-anaknya masih menanti kabar dari sang suami yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Kisah serupa juga dialami oleh Kauthar Dahnun (14), yang mengingat momen berat di pos pemeriksaan ketika ayah dan pamannya ditahan saat mengantar neneknya yang menggunakan kursi roda.
Pos Pemeriksaan Berujung Penahanan Massal
Vater Dahnun, ayah Kauthar, adalah seorang penebang kayu yang mulai banyak dilakukan karena krisis gas memasak di Gaza. Di pos pemeriksaan, ayah dan pamannya ditahan, sementara Kauthar dan keluarganya sekarang tinggal di tenda di Gaza dengan harapan dapat berkumpul kembali suatu hari nanti.
Fayez Al-Masri (57), yang mengungsi dari Beit Hanoun ke Jabalia, juga mengalami nasib yang sama. Putranya, Omar (27), ditahan di pos pemeriksaan oleh tentara Israel. Fayez menceritakan bagaimana mereka ditahan dalam sebuah lubang yang penuh dengan sampah, menghadapi penghinaan dan ketakutan akan eksekusi.
Penahanan dan Penyiksaan Sistematis
Di kamp-kamp pengungsian, banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena ditahan oleh tentara Israel di pos pemeriksaan. Hani Al-Dirini, yang tiga sepupunya ditahan, menggambarkan situasi pos pemeriksaan sebagai perangkap yang memisahkan keluarga secara paksa.
Sementara itu, Hussein Nabhan, yang kehilangan 10 anggota keluarganya, menceritakan pengalamannya ditahan dengan pesawat kecil (drone) yang meminta mereka menyerahkan diri. Di antara anggota keluarganya yang ditahan, ada dua anak di bawah umur, Ibrahim (17) dan Yasser (15).
**Pelanggaran Hak Asasi dan Penyiksaan**
Ketua Observatorium Euro-Mediterranean untuk Hak Asasi Manusia, Rami Abdu, mengatakan bahwa sulit untuk menghitung jumlah pasti warga Palestina yang ditahan. Israel dituduh menggunakan teknik penghilangan paksa selama konflik ini, tanpa informasi yang jelas tentang nasib para tahanan. Abdu mengungkapkan bahwa sekitar 600 orang telah ditahan sejak awal serangan di Gaza Utara, di mana metode lubang besar sering digunakan untuk menahan pria, wanita, dan anak-anak selama berjam-jam sebagai bentuk intimidasi.
Menurut laporan Euro-Med, militer Israel bahkan menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup, memaksa mereka mengenakan seragam tentara dan memasang kamera di kepala untuk memasuki bangunan dan terowongan sebelum tentara datang. Diperkirakan sekitar 10 ribu warga Palestina telah ditahan di Gaza sejak awal perang, dengan 4 ribu di antaranya telah dibebaskan secara bertahap.
Laporan lebih lanjut mengungkapkan bahwa tahanan yang dibebaskan menceritakan pengalaman penyiksaan yang mengerikan, dengan lebih dari 60 tahanan dibunuh, termasuk dua orang dokter.