Langkah Israel yang belakangan ini memperbolehkan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza (termasuk melalui operasi udara) sekilas tampak seperti respons pada tekanan global dan jeritan kemanusiaan. Namun di balik sorotan kamera dan jargon “gencatan senjata kemanusiaan”, tersembunyi strategi dingin yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Bagi para pengamat, keputusan ini bukan cermin perubahan moral, melainkan siasat politik yang presisi. Israel tak melihat bantuan sebagai kewajiban, tapi sebagai alat perang, untuk mengatur ulang peta negosiasi dan mempercantik citra di mata dunia.

Menurut Dr. Bilal Al-Shobaki, pakar isu Israel dari Universitas Hebron, Tel Aviv tengah berusaha menarik isu bantuan dari meja negosiasi dan membatasi dialog hanya pada persoalan tahanan. Artinya, Hamas dilucuti dari salah satu kartu tekan paling efektif yang ia pegang selama berbulan-bulan terakhir.

Taktik ini dilakukan dengan waktu yang sangat terukur: diumumkan tepat saat tekanan internasional melonjak, dan media global ramai-ramai memberitakan kelaparan di Gaza. Namun, seperti yang ditegaskan Al-Shobaki, ini bukan respons terhadap penderitaan rakyat, melainkan bagian dari manajemen perang.

Bantuan Dijadikan Propaganda, Bukan Penyelamatan

Wissam Afifa, jurnalis dan analis politik dari Gaza, menggambarkan bantuan yang masuk sebagai “titik di lautan penderitaan.” Banyak truk bahkan tak pernah sampai ke tangan warga. Gempuran udara masih menghantam zona-zona yang disebut ‘aman’, tempat bantuan seharusnya didistribusikan.

Lebih jauh lagi, “gencatan senjata” yang diklaim Israel hanyalah jeda sesaat di sebagian kecil wilayah, yang kembali dibombardir saat malam tiba. Bahkan, menurut Al-Shobaki, jeda ini sering dijadikan selubung untuk operasi intelijen, seperti yang pernah terjadi sebelumnya, dihentikan sementara, dipantau pergerakan, lalu menyusul pembunuhan-pembunuhan terarah.

Dengan demikian, bantuan yang dijatuhkan bukan hanya instrumen diplomasi, tapi juga perisai taktis bagi agenda keamanan Israel, yang memanfaatkan “momen tenang” untuk mengumpulkan informasi dan mengatur ulang target.

Bantuan untuk Citra, Bukan untuk Rakyat

Menurut Dr. Mohammed Henid dari Universitas Sorbonne, Israel kini terkepung secara moral di hadapan opini publik Barat. Gambar-gambar anak Gaza yang kelaparan mengguncang narasi lama Zionisme, bahkan mulai menyaingi memori kolektif Holocaust di benak generasi muda Eropa dan Amerika.

Dengan mengizinkan sebagian kecil bantuan masuk, Israel memberi ‘ruang napas’ pada para pemimpin Barat, agar tak perlu mengubah kebijakan dukungan militer mereka, tapi tetap terlihat “peduli”.

Bahkan, pernyataan terang-terangan dari pejabat Israel sendiri mengungkap strategi di balik semua ini. Menteri Transportasi Israel, misalnya, mengaku tak nyaman dengan masuknya bantuan, tapi menyebutnya penting untuk ‘memperoleh legitimasi melanjutkan perang’.

Bantuan Jadi Alat Pemerasan terhadap Warga Gaza

Dalam skenario yang kian brutal ini, Hamas dihadapkan pada permainan ganda: bantuan digunakan untuk melumpuhkan posisi tawarnya, sekaligus menghancurkan lingkungan sosial yang menopangnya. Dua juta warga Gaza dijadikan sandera ekonomi dan alat tekanan terhadap perlawanan.

Wissam Afifa menyebutnya sebagai “manajemen kelaparan”, metode sistematis yang bertujuan menundukkan seluruh populasi, agar mereka menekan pejuang mereka sendiri. Sebuah bentuk pemerasan kolektif, dengan perut kosong sebagai senjatanya.

Sementara itu, dunia Arab resmi terlihat abai. Israel tak merasa terancam oleh pernyataan pemerintah-pemerintah Arab, yang selama berbulan-bulan perang hanya mengeluarkan kecaman retoris. Jika pun ada gejolak rakyat, Israel yakin para rezim mampu meredamnya.

Kesimpulannya, bantuan bukan lagi jembatan kemanusiaan, ia telah dijadikan senjata negosiasi, alat kontrol, dan instrumen propaganda. Sementara rakyat Gaza terus menderita, Israel menggunakan karung-karung tepung dan kotak susu sebagai alat perang yang sunyi namun mematikan.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here