Puluhan pemukim ilegal menyerbu kawasan suci Masjid Al-Aqsha melalui Gerbang Al-Magharibah dengan penjagaan ketat dari aparat Israel. Serbuan ini bukan yang pertama, melainkan bagian dari agenda harian kelompok ekstremis yang secara terbuka menyerukan peningkatan ritual Yahudi di jantung tempat suci umat Islam.
Tak hanya di Al-Quds, aksi brutal juga terjadi di berbagai wilayah Tepi Barat. Pasukan Israel menggempur rumah-rumah warga, menangkap puluhan orang — termasuk mantan tahanan — dan menyebar ancaman di jalanan. Di Hebron selatan, pemukim bahkan membangun pos ilegal baru di dekat Desa Susya, bagian dari skema perampasan tanah yang terus berlanjut.
Sumber-sumber lokal melaporkan peningkatan tajam dalam kekerasan pemukim, mulai dari penyerangan rumah warga, pembakaran lahan, hingga pelarangan petani Palestina mengakses tanahnya sendiri — semua demi perluasan permukiman haram.
Di Al-Bireh, seorang pemuda diculik dari rumahnya. Di Idhna, tiga warga digelandang setelah rumah mereka digeledah paksa. Sementara di Dura, pasukan Israel menyebar selebaran bernada ancaman kepada warga sipil yang tak berdaya.
Hanya dalam satu malam, 20 warga Palestina kembali ditangkap di berbagai kota Tepi Barat. Dalihnya klasik: tuduhan senjata dan keamanan. Tapi bagi warga Palestina, ini adalah bagian dari pola teror sistematis yang dijalankan rezim apartheid Israel — dengan dukungan penuh dari Washington.
Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 173.000 warga Palestina menjadi korban genosida Israel di Gaza, termasuk 11.000 lebih yang masih hilang. Di Tepi Barat, angka korban terus bertambah: 967 syahid, 7.000 luka-luka, dan lebih dari 17.000 ditangkap — sebagian besar tanpa proses hukum.
Dunia boleh diam, tapi luka rakyat Palestina tak akan dibungkam. Pendudukan adalah kejahatan. Dan hari ini, kebiadaban itu kembali dipertontonkan di Masjid Al-Aqsha dan Tepi Barat yang terjajah.