Sore 11 Juni, Muhammad Awajah (19 tahun) meninggalkan rumahnya di Gaza Timur menuju kawasan antrian bantuan di wilayah “Nablusi”, dekat poros militer Netzarim. Ia bukan pejuang. Ia hanya seorang remaja dengan gangguan saraf yang butuh obat rutin pagi dan malam. Tujuannya sederhana, membawa pulang sebungkus tepung untuk keluarganya yang kelaparan. Sejak itu, ia tak pernah kembali.

“Adik saya cuma ingin memberi makan kami,” kata Saja, kakak Muhammad, kepada Al Jazeera.

“Dia bukan kombatan. Bukan pelaku kejahatan. Tapi dia menghilang tanpa jejak. Bukan di daftar syuhada, bukan di rumah sakit, bahkan bukan di antara yang terluka.”

Muhammad adalah satu dari puluhan warga Gaza yang hilang saat mencari bantuan makanan, sebuah tragedi kemanusiaan yang kian hari makin menakutkan.

Pemerintah Gaza menyebut mereka sebagai “mereka yang hilang di antrian bantuan”, fenomena yang tak kalah mengerikan dari jumlah korban jiwa akibat tembakan langsung saat mengantre makanan.

Tragedi Distribusi Bantuan: Dari Harapan Menjadi Perangkap Maut

Sejak Israel menjalankan program distribusi bantuan kontroversial bersama lembaga “Gaza Humanity Foundation” pada 27 Mei lalu (yang didukung penuh oleh Washington namun ditolak PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya) jumlah korban terus bertambah.

Data resmi menunjukkan, dalam tiga pekan terakhir, 450 warga Palestina gugur, 3.466 terluka, dan 39 dinyatakan hilang setelah keluar rumah mencari bantuan pangan.

Semua ini terjadi setelah Israel menutup semua jalur masuk bantuan ke Gaza sejak Maret, memicu keruntuhan total sistem pangan dan lonjakan kelaparan ekstrem di kalangan 2,2 juta warga.

“Kami Hanya Menunggu Mayatnya Ditemukan”

Yusuf ‘Amarah mengenang betapa keluarganya masih menanti kabar sang adik, Abdulrahman (20), yang menghilang sejak 9 Juni dalam perjalanan menuju titik distribusi.

“Kami tak tahu apa yang terjadi. Tak ada telepon, tak ada informasi,” katanya.

“Dia hanya ikut antrean bantuan, bukan pertempuran. Tapi kami dipaksa menunggu dalam sunyi, seperti tak ada nilai hidupnya.”

Kisah lebih memilukan datang dari Hamdan, ayah Abdulrahman lain yang juga hilang sejak 10 Juni. Setelah 11 hari pencarian, ia akhirnya menemukan jasad anaknya, dalam kondisi membusuk, hanya dikenali dari pakaian yang koyak akibat serpihan peluru tank Israel.

“Anak saya hanya ingin tepung. Tapi ditembak dengan peluru tank. Atas dasar hukum apa?” ucapnya lirih.

“Bukan Distribusi, Tapi Perangkap Berdarah”

Menurut Gazi Al-Majdalawi dari Pusat Palestina untuk Orang Hilang, laporan tentang orang yang tidak pernah kembali dari antrean bantuan terus berdatangan.

“Kondisinya sudah tidak terkendali. Kami tidak tahu apakah mereka dibunuh, ditahan, atau dikuburkan di bawah reruntuhan tanpa identitas,” katanya.

Pemerintah Gaza menyebut titik distribusi bantuan versi Israel ini bukan lagi lokasi kemanusiaan, melainkan “perangkap berdarah yang disengaja”.

“Warga digiring ke zona militer terbuka, kemudian ditembaki dari jarak dekat,” ujar Ismail Al-Thawabta, Kepala Biro Informasi Pemerintah Gaza.

Ia menyebut Israel menggunakan topeng kemanusiaan untuk menjalankan rencana sistematis: memperpanjang agresi, menghancurkan struktur sosial Gaza, dan mematahkan semangat rakyatnya.“Bukan hanya korban syahid yang menderita, tapi juga keluarga para hilang yang hidup dalam penantian sunyi tanpa kepastian,” tegas Al-Thawabta.

Kisah Muhammad, Abdulrahman, dan puluhan lainnya menyuarakan tragedi Gaza hari ini: mereka tidak mati di medan tempur, tapi di medan lapar, dan bahkan untuk itu pun, nyawa mereka tidak aman.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here