Spirit of Aqsa – Palestina | Pihak administrasi penjara penjajah Zionis menyemprotkan garam pada luka 15 tawanan wanita Palestina yang merasakan pahitnya penahanan, dan rasa sakit karena dipisahkan dari putra dan anak mereka dalam kondisi yang melanggar martabat manusia.

Penjajah Israel masih terus menahan tiga wanita Palestina yang sudah menikah di Penjara Hasharon. Mereka adalah Nawal Al-Saadi berusia 52 tahun (ibu dari lima anak), Intisar Al-Sayyad berusia 38 tahun dari al-Quds (ibu empat anak), dan Rana Abu Kwik berusia 32 tahun dari Ramallah (ibu dari empat anak).

Penjajah Israel melarang para tawanan wanita Palestina dikunjungi anak-anaknya dan bertemu dengan keluarganya, di samping penelantaran medis sebagai bentuk hukuman dan sanksi bagi para tawanan wanita, yang sebagian melahirkan anak-anak saat mereka diikat dengan belenggu besi.

Beragam pengalaman dialami para tawanan wanita Palestina, yang diserang oleh para sipir penjajah Israel, pada pagi dan malam hari, dengan menghalangi haknya untuk memeluk anak-anaknya atau menerima perawatan dan memberi air susu untuk bayinya di balik jeruji besi.

Cobaan dan anugerah

Setelah bertahun-tahun perjalanan penuh siksaan yang dialaminya berakhir, Haifa Abu Subaih (tawanan wanita Palestina yang sudah dibebaskan) menggambarkan kondisi penahanan para ibu dan wanita Palestina di penjara penjajah Israel sebagai stasiun penderitaan permanen mereka.

Pihak penjara Israel mengabaikan permohonan dan seruan lembaga-lembaga HAM dan kemanusiaan, yang berkali-kali mengungkap sejumlah paket pelanggaran hukum yang memengaruhi keselamatan dan kesehatan para wanita yang ditawanan di dalam penjara Israel.

Haifa, wanita berusia 41 tahun ini kepada Pusat Informasi Palestina mengatakan bahwa dia ditawan selama 16 bulan. Dimulai pada Mei 2015 dan berakhir pada Maret 2017. Dia meninggalkan 6 anak, yang termuda adalah seorang bocah wanita berusia dua tahun.

Dia menambahkan, “Penahanan ibu itu tidak mudah, terutama karena saya juga seorang kepala sekolah. Saya memiliki tanggung jawab rumah. Saya memiliki anak kecil, seorang putri di sekolah menengah, dan seorang suami yang menderita hipertensi dan diabetes.”

Ketika sekarang rekaman memori kembali di benak Haifa, dia mengingat kembali hari-hari cobaan beratnya, yang dia lihat di beberapa peristiwa sebagai anugerah ilahi untuk menguji iman dan kesabaran melawan agresi pendudukan penjajah Israel.

Untuk pertama kalinya, Haifa mengalami pemisahan paksa dari keluarga dan masyarakatnya, dan mendapati dirinya bukan salah satu di antara tawanan. Sebaliknya, dia bertanggung jawab atas 26 tawanan wanita di hadapan pihak administrasi penjara Israel untuk menegosiasikan hak mereka atas makanan dan perawatan, serta berbicara atas nama mereka.

Dan dia melanjutkan, “Saya bertanggung jawab atas tawanan wanita yang terluka, yang sakit dan anak-anak di bawah umur. Ini adalah tanggung jawab yang besar. Saya mengesampingkan perasaan pribadi saya untuk mendukung ketabahan mereka. Saya menjalani pergumulan antara kondisi saya di dalam dan di luar tawanan.”

Yang paling menyakitkan tawanan wanita adalah menunggu persetujuan izin kunjungan anak-anaknya yang masih kecil, menunggu saat neneluknya, yang saat melahirkannya tidak bisa melakukannya karena para sipir menolak untuk mengizinkannya untuk bertemu langsung.

Haifa tidak melupakan hari di mana penjajah Israel dengan sengaja mencegah salah satu tawanan wanita untuk memeluk anaknya saat berkunjung. Maka para tawanan wanita memutuskan bersama untuk menolak merangkul anak-anak mereka sebagai bentuk solidaritas dengannya dalam keputusan yang sulit.

Haifa telah berjuang untuk bernegosiasi dengan otoritas Penjara, menuntut perawatan dan pengobatan untuk para tawanan wanita yang sakit, seperti Nisreen Abu Kamil dan Helwa Hamamra, dua orang ibu yang menderita penyakit parah dan kronis di dalam penjara Israel.

Melahirkan dalam kondisi dibelenggu

Kenangan menyakitkan dialami tawanan wanita Palestina, Samar Sobeih, yang melahirkan anaknya di dalam penjara penjajah Israel dalam kondisi dibelenggu, sebelum akhirnya sipir penjara mengambil anak bayinya dari dirinya dan kemudian mengembalikannya ke ruang penahanan.

Bertahun-tahun telah berlalu sejak penderitaan Samar, yang kembali Jalur Gaza setelah mendapatkan kebebasannya, namun kenangan penderitaan itu tidak pernah hilang dari memorinya, ketika dia ditangkap dan ditawan saat sedang hamil di bulan pertama.

Dia menambahkan, “Tidak ada perhatian pada tawanan yang hamil. Mereka tidak diberi nutrisi, perawatan dan pemeriksaan medis. Melahirkan bayinya dengan kondisi tangan diborgol dan kaki terikat, di sebuah ruangan dengan keamanan ketat, kemudian dia dipindahkan ke ruangan lain setelah mengambil anaknya darinya.”

Samar diinterogasi selama 3 bulan pada awal penahanannya, pihak penjara sama sekali tidak peduli dengan kondisi kesehatannya, sampai dia melahirkan dengan sesar dari penjara “Hasharon”.

Dia melanjutkan, “Mereka tidak membawakan susu untuk anak atau memberi kami makan. Mereka menolak semua permintaan saya sepenuhnya. Bahkan popok untuk bayi sangat buruk. Makanannya tidak cocok untuk ibu yang menyusui. Anak bayi yang baru lahir mereka perlakukan seperti tahanan di ruang penjara.”

Anak pertamanya, Baraa, membuka kedua matanya pada saat inspeksi pagi hari di mana para sipir melakukan penghitungan harian para tahanan wanita. Sampai dia berusia tahun kedua dan mendapatkan kebebasannya bersama ibunya, dan melakukan perjalanan ke Jalur Gaza.

Samar tidak melupakan catatan para tawanan wanita yang melahirkan anak-anak mereka ke dalam penjara. Di antara mereka adalah Manal Ghanem, Samar Sabih, Mervat Taha, dan Fatima Al Zaq.

Penderitaan yang terus berulang

Abdullah Qandil, juru bicara Asosiasi Wa’ed untuk Tawanan dan Eks Tawanan, mengomentari penderitaan para tawanan wanita Palestina di dalam penjara penjajah Zionis dengan mengatakan, apa yang terjadi pada para tawanan wanita Palestina adalah penderitaan yang terus berulang.

Dia menyatakan bahwa otoritas penjara Israel bermaksud untuk menyakiti ibu yang tertawan dalam banyak aspek, utamanya adalah menolak kunjungan langsung keluarganya, merangkul anak-anaknya, berfoto dengan mereka, meskipun undang-undang Israel mengizinkan melakukan hal-hal tersebut.

Dia menambahkan penjajah Israel mencegah hak asuh ibu tawanan atas anaknya, memisahkan mereka, dan memaksa ibu untuk meninggalkan anaknya sebagai sarana untuk menekan ibunya. Banyak anak-anak Palestina yang tubuh besar, menyelesaikan pendidikan mereka, menikah dan hingga punya anak tanpa bisa mengunjungi ibu mereka yang ada di dalam penjara Israel.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here