Mesir dan Uni Eropa menyatakan penolakan tegas terhadap rencana Israel untuk memperluas permukiman ilegal dan mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki. Kedua pihak juga menentang setiap upaya pengusiran warga Palestina dari tanah mereka sendiri.
Sikap itu ditegaskan dalam pernyataan bersama usai KTT Mesir–Uni Eropa pertama di Brussel, Kamis (23/10). Dalam pernyataan tersebut, kedua pihak mengungkapkan keprihatinan mendalam atas situasi di Tepi Barat dan menegaskan kembali komitmen mereka terhadap “perdamaian yang adil dan berkelanjutan berdasarkan solusi dua negara.”
“Kami mengutuk keras kekerasan yang dilakukan pemukim Israel dan perluasan permukiman ilegal yang bertentangan dengan hukum internasional,” bunyi pernyataan itu. “Kami menolak sepenuhnya setiap upaya aneksasi maupun pengusiran (baik secara individu maupun kolektif) terhadap warga Palestina dari wilayah pendudukan.”
Penegasan ini datang hanya beberapa jam setelah Knesset Israel menyetujui dua rancangan undang-undang awal: satu untuk mencaplok seluruh Tepi Barat, dan satu lagi untuk memasukkan permukiman Ma’ale Adumim (yang dibangun di atas tanah Palestina di timur Al-Quds) ke dalam wilayah Israel. Jika disahkan dalam tiga pembacaan berikutnya, kedua RUU itu akan memiliki kekuatan hukum penuh.
Langkah politik ini berlangsung paralel dengan dua tahun serangan Israel ke Jalur Gaza, yang oleh banyak pihak disebut sebagai genosida dengan dukungan Amerika Serikat. Serangan itu telah menewaskan lebih dari 68.000 warga Palestina dan melukai 170.000 orang lainnya, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Sekitar 90 persen infrastruktur sipil Gaza hancur.
Sementara itu, di Tepi Barat, kekerasan dan penindasan militer terus meningkat. Data resmi Palestina mencatat, sejak awal agresi, lebih dari 1.000 warga Palestina syahid dan 10.000 lainnya terluka. Lebih dari 20.000 orang ditangkap, termasuk 1.600 anak-anak.
Dalam pernyataan yang sama, Mesir dan Uni Eropa menegaskan kembali komitmen mereka terhadap solusi dua negara, sebagaimana diatur dalam resolusi PBB dan Deklarasi New York. Solusi ini menekankan hidup berdampingan antara negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Israel, di dalam perbatasan yang aman dan saling diakui.
Deklarasi New York (yang diadopsi Majelis Umum PBB pada September lalu) merupakan hasil konferensi internasional yang dipimpin Arab Saudi dan Prancis. Isinya menyerukan pengakuan penuh atas negara Palestina dan keanggotaan penuh di PBB, menggantikan status “pengamat non-anggota” yang berlaku sejak 2012.
Gaza di Bawah Satu Pemerintahan
Mesir dan Uni Eropa juga menyampaikan dukungan terhadap pemerintah Palestina dan agenda reformasinya, termasuk pembentukan komite teknokrat sementara untuk mengelola Jalur Gaza.
Keduanya menekankan pentingnya menyatukan Gaza dan Tepi Barat di bawah satu otoritas nasional dengan prinsip “satu negara, satu hukum, satu pemerintahan, satu senjata.”
Selain itu, kedua pihak menyambut baik tahap pertama dari rencana perdamaian komprehensif yang diusulkan Presiden AS Donald Trump, dan mulai berlaku pada 10 Oktober lalu. Mereka menyerukan seluruh pihak untuk melanjutkan implementasi rencana tersebut, sekaligus memastikan akses cepat dan aman bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza, termasuk pemulihan layanan dasar dan fasilitas kesehatan.
Rekonstruksi dan Harapan yang Rapuh
Mesir mengonfirmasi rencananya menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Rekonstruksi Gaza pada November mendatang, setelah tercapainya gencatan senjata permanen. Program itu akan dijalankan bersama kelompok donor internasional untuk Palestina.
Kairo juga tengah mendorong pelaksanaan rencana rekonstruksi lima tahun yang disetujui Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Maret lalu, dengan nilai sekitar 53 miliar dolar AS.
Namun, menurut perkiraan PBB, kerusakan akibat dua tahun perang membuat kebutuhan biaya rekonstruksi meningkat hingga 70 miliar dolar AS. Angka yang mencerminkan tidak hanya kehancuran fisik, tapi juga keruntuhan harapan jutaan jiwa yang bertahan di antara reruntuhan Gaza.










