Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich kembali menyerukan agar wilayah Gaza sepenuhnya dijajah dan ditempatkan di bawah kendali militer. Sementara itu, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir mendesak pemutusan total pasokan bahan bakar dan listrik ke wilayah yang telah hancur itu.
Seruan ekstrem ini disampaikan Smotrich lewat akun media sosial X sebagai tanggapan atas pidato Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Sabtu malam (18/4). “Tuan Perdana Menteri, jika Anda serius ingin menutup perang ini dengan kemenangan, maka satu-satunya jalan adalah mengubah pendekatan. Kita harus menduduki Gaza secara menyeluruh, dan bila perlu, menjalankan pemerintahan militer tanpa rasa takut,” tulisnya.
Smotrich juga menegaskan bahwa tujuan mereka adalah “menghancurkan Hamas dan memastikan Gaza tidak pernah lagi menjadi ancaman bagi Israel.” Ia dikenal luas sebagai salah satu tokoh paling radikal di pemerintahan Netanyahu, yang berkali-kali secara terbuka menyerukan pengusiran paksa warga Palestina dari Gaza.
Netanyahu sendiri dalam pidato video yang dirilis sebelumnya mengisyaratkan tidak akan menghentikan perang genosida yang kini memasuki bulan ke-19, kecuali seluruh kekuatan sipil dan militer Hamas berhasil dilumpuhkan total.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengakui bahwa ratusan ribu warga Gaza telah dipaksa mengungsi dari rumah mereka, dan menyatakan pasukan Israel akan tetap menduduki sebagian wilayah Gaza sebagai “zona penyangga”, baik dalam status sementara maupun permanen.
Data PBB mencatat, lebih dari 66 persen wilayah Gaza kini tak bisa diakses oleh rakyat Palestina, baik karena diklaim sebagai zona militer Israel, maupun karena warganya telah dipaksa mengungsi akibat peringatan pengosongan.
Di sisi lain, Ben Gvir secara terang-terangan mengatakan, “Kami akan terus berperang hingga menghancurkan Hamas. Kami akan melarang mereka mendapatkan bahan bakar dan listrik, dan terus menekan dengan kekuatan militer.” Menurutnya, tekanan militer—bukan perjanjian damai—adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan sandera Israel yang masih ditahan di Gaza.
Namun, pernyataan ini justru mempertegas kritik dari oposisi dan masyarakat Israel sendiri, yang menyebut bahwa perang berkepanjangan di Gaza bukan lagi soal keamanan nasional, melainkan demi menyelamatkan kepentingan pribadi dan politik Netanyahu serta kabinetnya yang ultra kanan.
Meski menghadapi tekanan dari berbagai pihak, Netanyahu bergeming. Ia menyatakan tidak ada pilihan lain selain terus melanjutkan agresi hingga meraih apa yang disebutnya “kemenangan mutlak.”
Pada Januari 2025 lalu, Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat sempat berhasil memediasi kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk gencatan senjata bertahap. Namun, pada Maret lalu, Tel Aviv secara sepihak melanggar kesepakatan dan kembali memulai perang. Netanyahu juga diketahui menolak memulai fase kedua dari perjanjian itu dan memilih melanjutkan genosida, demi meredam tekanan dari faksi paling ekstrem dalam pemerintahannya, sebagaimana dilaporkan media-media Israel.
Sejak 7 Oktober 2023, genosida yang dilakukan Israel dengan dukungan penuh Amerika Serikat telah menewaskan dan melukai lebih dari 167 ribu warga Palestina, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 11 ribu orang masih hilang, sebagian besar tertimbun reruntuhan atau dikubur tanpa nama.