Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yisrael Katz menggerebek Kamp Tulkarm di Tepi Barat, sehari setelah ledakan bus di dekat Tel Aviv yang memicu kepanikan dan siaga tinggi di Israel.
Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Mustafa Barghouti, menilai Netanyahu bertindak demi kepentingan pribadinya dan ingin meningkatkan eskalasi di Tepi Barat guna mewujudkan ambisi lamanya. “Kunjungan ke Tulkarm adalah upaya menguasai kembali Tepi Barat sepenuhnya dan memperluas perang ke sana,” ujarnya dalam program Masar Al-Ahdath. Ia menegaskan bahwa Israel memanfaatkan insiden tersebut, terlepas dari pelakunya, untuk mempercepat perang dengan tujuan menghilangkan keberadaan Palestina.
Saat berkeliling kamp pada Jumat, Netanyahu mengatakan telah memerintahkan peningkatan pasukan di Tepi Barat, merespons ledakan bus yang diklaim Israel sebagai upaya serangan. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Yisrael Katz juga mengunjungi kamp tersebut dan menegaskan bahwa insiden ini tidak akan menghalangi Israel. Ia bahkan menginstruksikan militer untuk meningkatkan operasi terhadap apa yang disebutnya sebagai “terorisme” di Tepi Barat.
Barghouti menilai Netanyahu tak memerlukan alasan untuk eskalasi, tetapi ia membutuhkannya saat mendapat dukungan dari Presiden AS Donald Trump untuk memperluas perang. Ia menuduh Netanyahu ingin menghapus seluruh keberadaan Palestina dan menciptakan “Nakba baru yang lebih besar dari 1948.” Ia juga tidak menutup kemungkinan bahwa ledakan di Tel Aviv adalah provokasi Israel sendiri, mengingat tidak ada kelompok Palestina yang mengklaim bertanggung jawab. Menurutnya, Israel ingin memperluas operasi militer ke kota-kota lain di Tepi Barat, seperti yang dilakukan dalam Operasi Tembok Pertahanan pada 2002.
Secara militer, Israel mengerahkan tiga batalion tambahan ke Tepi Barat setelah polisi melaporkan tiga ledakan bom di bus kosong di Bat Yam dan Holon, dekat Tel Aviv, tanpa korban jiwa. Media Israel juga melaporkan bahwa seorang warga Yahudi ditangkap karena diduga mengantar seorang Palestina yang diyakini menanam bom.
Kembali ke Era Sebelum Kesepakatan Oslo?
Pakar urusan Israel, Muhannad Mustafa, menilai bahwa Netanyahu ingin menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan serangan bom kembali ke Israel seperti dalam Intifada Kedua. Ia juga menganggap Tepi Barat sebagai medan perang, bukan sekadar operasi militer. Mustafa menekankan bahwa sejak Kesepakatan Oslo, belum pernah ada perdana menteri Israel yang menggerebek kota Palestina secara langsung. Ia membandingkan tindakan Netanyahu ini dengan kunjungannya ke front Gaza, Lebanon, dan Suriah selama perang.
Pada 13 September 1993, Ketua PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin menandatangani kesepakatan pembentukan Otoritas Palestina Sementara yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo di Gedung Putih, Washington. Mustafa memperkirakan Israel ingin kembali menduduki Tepi Barat dengan meningkatkan kehadiran militernya seperti sebelum perjanjian itu, guna menghancurkan infrastruktur perjuangan Palestina. Sebelum Oslo, pasukan Israel bermarkas di dalam kota-kota Palestina.
Mengenai kemungkinan aneksasi Tepi Barat, Mustafa melihat ada perpecahan di Israel—sebagian mendukung pencaplokan penuh, sementara yang lain menolak tetapi juga tidak ingin memberikan negara merdeka bagi Palestina.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Palestina pada Jumat mengecam serbuan Netanyahu dan Katz ke Kamp Tulkarm sebagai “eskalasi agresi Israel terhadap rakyat Palestina.” Tindakan ini dianggap sebagai kelanjutan dari pembunuhan warga sipil, penghancuran rumah, pemaksaan pengungsian, dan pengusiran paksa.
Selama lebih dari sebulan, militer Israel telah melakukan operasi militer besar-besaran di Tepi Barat, dimulai dari Jenin dan meluas ke Tulkarm, Tubas, Nablus, dan kota-kota lainnya. Serangan ini telah menyebabkan ratusan warga Palestina gugur atau terluka, serta puluhan ribu orang mengungsi, selain kerusakan besar akibat penghancuran rumah dan infrastruktur.