Dengan langkah hati-hati, para analis Palestina mulai menatap hari-hari setelah genosida di Gaza. Sejak gencatan senjata diberlakukan pada 10 Oktober lalu, pertanyaan besar pun menggantung: apa yang akan terjadi di Tepi Barat setelah asap perang reda?

Jawabannya, sejauh ini, belum menjanjikan. Rencana aneksasi, proyek permukiman ilegal, dan upaya sistematis Yahudisasi Al-Quds masih terus berjalan. Sementara itu, otoritas Palestina terjebak dalam krisis ekonomi yang kronis, pengangguran mencapai 28,6 persen, dan pegawai negeri masih menerima gaji setengah dari hak mereka.

Langkah Baru Israel: Aneksasi Tanpa Jeda

Menurut pengamat politik Samer Anabtawi, sejak awal pemerintahan sayap kanan ekstrem Benjamin Netanyahu, tujuan utamanya sudah jelas: menguasai Tepi Barat sepenuhnya.

“Setelah 7 Oktober, perhatian dunia memang teralihkan ke Gaza,” ujarnya. “Tapi di lapangan, proyek aneksasi tidak pernah berhenti.”

Kini, setelah perang usai, Netanyahu dituntut memenuhi janji politiknya kepada dua tokoh garis keras dalam kabinetnya, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.
Keduanya menekan agar perluasan permukiman Yahudi dipercepat dan lahan-lahan Palestina di Tepi Barat segera diserap ke wilayah Israel.

Anabtawi memperkirakan, proses itu akan dimulai di sekitar lembah Yordan dan kawasan permukiman besar, lalu merembet ke jalan-jalan strategis dan desa-desa sekitar.

“Seluruh Tepi Barat, bukan hanya Area C (yang mencakup 61% wilayah), kini sudah dianggap wilayah bebas rampasan,” ujarnya.

Menanggapi penolakan Presiden AS Donald Trump terhadap langkah aneksasi, Anabtawi menyebut, “Pernyataan itu tidak cukup. Karena di lapangan, Israel sudah melakukan aneksasi de facto. Kalau Amerika benar-benar serius, mereka harus menekan Israel secara nyata.”

Otoritas Palestina di Ujung Legitimasi

Dalam pandangan Anabtawi, pemerintah Israel saat ini tidak mengakui eksistensi otoritas Palestina dalam bentuk apa pun.

“Bagi mereka, tak ada ruang untuk pemerintahan Palestina, bahkan simbolik sekali pun,” katanya.

Dua alasan utama di balik itu jelas:

  1. Israel ingin memisahkan Gaza sepenuhnya dari Tepi Barat.
  2. Mereka berniat menguasai 61 persen wilayah Tepi Barat, sementara sisanya dipecah menjadi kanton-kanton kecil yang terisolasi.

Ia menegaskan pentingnya rekonsiliasi nasional Palestina. “Sudah tak ada lagi alasan untuk berpecah, karena pendudukan tidak lagi membeda-bedakan siapa yang jadi target.”

Anabtawi juga memperingatkan bahwa tekanan terhadap warga Al-Quds terus meningkat: pajak tinggi, pembatasan ruang hidup, hingga perubahan demografis dan geografis yang agresif. Rencana “Yerusalem Raya” dan pembangunan di area E1, yang akan memisahkan bagian selatan Tepi Barat dari Al-Quds, masih dijalankan dengan kecepatan penuh.

“Bahkan kini, pembagian waktu di Masjid Al-Aqsa sudah berkembang jadi pembagian ruang,” tambahnya. “Ekstremis Yahudi terus melakukan penyerbuan, sementara umat Muslim dibatasi dan situs suci itu terus digali dari bawah.”

Ekonomi Palestina: Krisis yang Tak Berakhir

Menurut ekonom Shadi Hamad dari Nablus, tidak banyak harapan di sektor ekonomi.
“Krisis-krisis lama hanya akan bergerak di tempat, mungkin sedikit membaik, tapi tidak akan berubah secara signifikan,” ujarnya.

Beberapa poin penting yang disorot Hamad:

  • Dana pajak (clearance revenues) yang ditahan Israel mungkin akan dicairkan sebagian, tapi tidak utuh. Sebagian besar masih digunakan sebagai alat tekanan terhadap otoritas Palestina.
  • Gaji pegawai negeri tetap bermasalah sejak 2019. Utang besar ke bank dan tumpukan tunggakan membuat perbaikan mustahil dalam waktu dekat.
  • Pengangguran bisa sedikit turun jika pos pemeriksaan militer dilonggarkan, namun tidak akan hilang sepenuhnya.
  • Pekerja Palestina di Israel belum jelas nasibnya. Kalaupun diizinkan kembali, jumlahnya akan dibatasi.
  • Bantuan internasional meningkat sedikit, namun belum menyentuh kebutuhan riil di lapangan.

“Kalau dunia tidak mau membantu sekarang (di masa paling kritis dalam sejarah Palestina) kapan lagi mereka akan turun tangan?” tanya Hamad retoris.

Nasib Para Tahanan Palestina

Di sisi lain, kondisi ribuan tahanan Palestina di penjara Israel tetap memburuk.
Menurut Hassan Abd Rabbo, pakar urusan tahanan, “Penyiksaan, pengabaian medis, dan penghinaan sudah jadi kebijakan resmi, diperintah langsung oleh Itamar Ben-Gvir.”

Ia memperkirakan situasi ini akan berlanjut hingga akhir masa jabatan pemerintahan saat ini.
“Untuk memulihkan hak-hak para tahanan (seperti kunjungan keluarga, akses medis, dan fasilitas dasar) diperlukan perjuangan baru yang panjang,” katanya.

Abd Rabbo juga memperingatkan bahwa penangkapan massal di Tepi Barat akan terus berlanjut seiring kebijakan aneksasi dan penghapusan prospek negara Palestina yang berdaulat.

Tentang penghentian gaji bagi para tahanan dan keluarga syuhada, Abd Rabbo menyebut persoalan itu bukan administratif, tapi nasional.

“Masalah ini bisa diselesaikan jika kita memulihkan kesatuan politik dan menata ulang sistem pemerintahan Palestina. Ada banyak cara untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa tunduk pada tekanan internasional,” tegasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here