Dua tahun perang genosidal Israel di Gaza telah mengubah hidup Rasha Abu Sbeaka menjadi rangkaian luka yang tak kunjung sembuh. Ia selamat dari empat serangan udara, dua kali ditarik dari reruntuhan, dan kini menghadapi musuh baru yang tumbuh di dalam tubuhnya sendiri, kanker payudara stadium tiga.

Namun yang lebih tragis, bahkan setelah gencatan senjata, perang itu masih berusaha membunuhnya. Sistem kesehatan Gaza hancur, dan penutupan perbatasan yang berlarut membuatnya tak bisa berobat ke luar negeri.

“Kadang aku merasa akan mati,” ujarnya dikutip Al Jazeera. “Aku sering memeluk anak-anakku setiap hari, karena merasa hari itu mungkin hari terakhirku.”

Rasha bukan satu-satunya perempuan yang menanggung beban perang yang tak berakhir. Bersamanya, ada Mervat Sarhan, warga Khan Younis yang baru dibebaskan setelah lima bulan mendekam di penjara Israel. Ia mengaku disiksa dengan pukulan dan setruman listrik, serta diancam akan dibunuh bersama anak-anaknya.

“Mereka datang subuh, menyamar sebagai perempuan, lalu membunuh suamiku di depan anak-anakku,” katanya lirih.

Sarhan dan Abu Sbeaka adalah dua wajah dari ribuan perempuan Gaza yang berjuang melanjutkan hidup di tengah kehancuran fisik dan batin. Rasha percaya penyakitnya muncul akibat asap bom dan roket yang tanpa henti menghujani Gaza. Kini, tanpa obat, tanpa rumah sakit, dan tanpa jalan keluar, “semua di sini berhenti total,” ujarnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut hanya sebagian kecil pasien kritis yang berhasil dievakuasi untuk berobat, sekitar 41 orang dari 15.000 pasien, termasuk 3.800 anak-anak. WHO memperingatkan, jika laju evakuasi tak berubah, akan butuh lebih dari satu dekade untuk menyelamatkan semua pasien yang menunggu giliran.

Namun Israel tetap menutup perbatasan Rafah, meski gencatan senjata mensyaratkan pembukaannya. “Kami bisa sembuh, asalkan mereka membuka perbatasan,” kata Rasha.

Sementara Mervat Sarhan kini mencoba membangun kembali hidupnya tanpa suami, di antara kenangan tentang ruang interogasi yang gelap dan ancaman yang tak pernah berhenti. Banyak tahanan Palestina yang dibebaskan menunjukkan bekas penyiksaan; sebagian bahkan ditemukan dieksekusi dan diborgol.

Kisah dua perempuan ini bukan sekadar potret penderitaan, melainkan cermin dari harga kemanusiaan yang terus digadaikan di hadapan pendudukan dan diamnya dunia.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here