Dengan getir dan rasa malu yang sulit disembunyikan, jurnalis dan penyair muda Palestina, Nur Al-Asi, mengakui bahwa untuk pertama kalinya ia serius mempertimbangkan meninggalkan Gaza. Baginya, Israel tak hanya membunuh manusia, tapi juga berhasil menghancurkan setiap kemungkinan untuk tetap bertahan.
Dalam artikelnya yang ditulis untuk media Mediapart Prancis, Nur—yang telah dua kali mengungsi dari wilayah utara Gaza—mengisahkan betapa dirinya tumbuh besar dengan keyakinan bahwa Gaza bukan sekadar tempat, melainkan jiwa, sejarah, dan identitasnya. Ia menyebut tanah itu sebagai luka yang diselimuti kesucian, perang yang menyala namun penuh kehangatan, dan reruntuhan yang tak pernah mematahkan rasa memiliki.
Namun kini, setelah melewati malam-malam panjang bersama dentuman bom, rasa lapar, pengusiran, dan mayat-mayat yang tertimbun di balik puing-puing, muncul sebuah pikiran yang terus membesar: bagaimana jika aku pergi? Bukan karena cinta pada Gaza memudar, tetapi karena para pemuda cerdas yang tumbuh dari tanah ini mulai merasakan bahwa mimpi untuk membangun kehidupan di luar negeri menjadi satu-satunya kemungkinan. “Karena semua yang kami bangun di sini, hancur. Secara fisik dan juga secara jiwa.”
“Ini Bukan Perang, Ini Pemusnahan”
Anak perempuan dari lingkungan Tuffah di timur laut Gaza itu menggambarkan betapa berhasilnya strategi iblis yang dijalankan oleh Israel: menjadikan Gaza tak lagi layak dihuni. “Rumah kami dijadikan sasaran, rumah sakit berubah jadi kuburan, sekolah jadi puing-puing. Mereka membuat kami kelaparan, mengusir kami, dan membombardir kami berkali-kali. Tujuan mereka bukan cuma membunuh kami, tapi membunuh hasrat kami untuk tetap hidup di sini.”
Yang paling menyakitkan, katanya, bukan luka atau roket, tapi kenyataan bahwa mereka perlahan-lahan sedang didorong untuk pergi. “Bukan karena kami kehilangan cinta pada Gaza, tapi karena kami mulai kehilangan keyakinan bahwa kami bisa bertahan hidup di sini. Senjata mereka yang paling mematikan bukan bom, tapi keputusasaan.”
Nur menyebutkan bahwa yang terjadi di Gaza bukanlah perang biasa, melainkan pembersihan etnis dan genosida yang dilakukan dengan sengaja, di depan kamera, dengan dunia yang hanya menonton. “Truk-truk bantuan berdatangan dengan slogan-slogan indah, sementara dunia internasional bersembunyi di balik diplomasi dan bahasa-bahasa demokrasi. Mereka bukan lagi penonton yang diam, mereka sudah menjadi bagian dari kejahatan ini.”
“Gaza Dihapus dari Peta secara Terang-terangan”
Nur juga mengingatkan tentang pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengenai operasi “Kereta Perang Gideon”—nama dari kitab suci yang kini digunakan untuk melabeli pembantaian zaman modern. “Rafah, yang dulu kota cantik dan makmur, kini telah dihapus. Khan Younis sudah berada di bawah pendudukan. Deir al-Balah sesak oleh pengungsi yang tak lagi punya tempat.”
Israel, katanya, ingin memaksa warga Gaza untuk menyerah dan membuat generasi mendatang percaya bahwa tak ada lagi yang pantas untuk diperjuangkan. “Rumah kami tinggal debu, sekolah kami jadi reruntuhan. Ijazah, buku catatan, dan bahkan impian kami, kini terkubur bersama mayat-mayat di bawah puing.”
Dalam puisinya yang hidup, Nur menuliskan bahwa apa yang sedang terjadi “melewati batas kekejaman.” Anak-anak dibakar hidup-hidup, tubuh-tubuh kecil mereka tercerai-berai. “Kami, warga Gaza, sedang dihapus dari sejarah secara langsung. Dunia melihat, tapi tak melakukan apa-apa. Dunia telah menjual nuraninya demi politik dan normalisasi.”
“Kami Tidak Mati dalam Diam”
Nur mengaku, ia tidak sedang menulis sebagai jurnalis, tapi sebagai anak yang tak lagi sanggup menjamin keselamatan kedua orang tuanya. Sebagai kakak perempuan yang gemetar setiap kali mendengar ledakan, bertanya-tanya apakah giliran adiknya akan tiba. Sebagai mahasiswi yang mimpi pendidikannya berubah menjadi abu. Sebagai manusia yang berteriak dalam kehampaan, memohon agar ada seseorang yang mau benar-benar melihat kenyataan ini, bukan sekadar mengalihkan pandangan.
Ia menutup tulisannya dengan sebuah pesan yang tegas dan tak bisa diabaikan:
“Hukum, moralitas, dan kemanusiaan seharusnya tetap hidup di Gaza. Jika dunia melihat kami menghilang dan tidak berbuat apa-apa, maka dunia itu sesungguhnya tidak sedang membela apa pun. Kami tidak mati dalam diam. Kami mendokumentasikan kehancuran kami. Dan jika Gaza tumbang, ia tidak akan tumbang dalam kegelapan—ia akan tumbang dalam terang kamera, sementara dunia memilih untuk melupakannya.”