Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, Dr. Munir Al-Bursh, mengungkapkan betapa tragisnya situasi di Gaza setelah Israel kembali melakukan pembantaian terhadap warga sipil. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Al-Bursh mengatakan bahwa lebih dari 30 warga Palestina syahid, serta 197 lainnya terluka, dalam serangan brutal yang menyasar kerumunan warga di wilayah distribusi bantuan kemanusiaan di barat Rafah, Gaza selatan.

Menurutnya, pesawat tanpa awak jenis quadcopter milik pendudukan sempat menyerukan kepada warga Gaza agar datang mengambil bantuan—namun justru menembaki mereka saat tiba di lokasi. Banyak korban syahid dan luka-luka yang tidak bisa dijangkau ambulans, karena medan yang dikuasai militer Israel dan kondisi kacau di lapangan.

Lebih dari sekadar kondisi darurat, Al-Bursh menyebut bahwa rumah sakit di Gaza sudah tak mampu lagi menerima gelombang korban yang terus berdatangan. Terlebih setelah hilangnya fungsi rumah sakit Eropa di wilayah selatan.

Ketika ditanya mengenai kondisi umum masyarakat Gaza, pernyataannya begitu mengguncang:

“Kami bahkan kekurangan hak untuk mati secara layak.”

Distribusi Bantuan atau Strategi Pengusiran?

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat bahwa lebih dari 200 korban luka dilarikan ke Kompleks Medis Nasser, 30 di antaranya dalam kondisi sangat kritis, dan 5 lainnya dalam kondisi kematian otak. Mereka mendesak pasokan darah dan perlengkapan medis darurat, karena kondisi layanan kesehatan disebut “kritis dan runtuh total”, apalagi setelah seluruh rumah sakit di Gaza utara berhenti beroperasi.

Di ruang operasi, UGD, dan ICU, petugas medis berjuang dengan peralatan yang nyaris habis. Kekurangan darah, bahan bedah, dan alat perawatan membuat banyak nyawa tak terselamatkan, bukan karena parahnya luka—tapi karena tak adanya peralatan untuk menolong mereka.

Dalam wawancara lanjutan, Al-Bursh mengkritik keras skema distribusi bantuan Israel yang didukung Amerika Serikat, menyebutnya bukan sebagai misi kemanusiaan, melainkan sebagai “rencana pengusiran sistematis.” Ia menuduh pendudukan menggunakan dalih bantuan untuk menjebak dan membunuh warga sipil yang kelaparan secara massal.

Hal ini diperkuat oleh laporan koresponden Al Jazeera, Hisham Zaqout, yang menggambarkan lokasi distribusi sebagai wilayah berbahaya yang berada di jantung zona militer Israel. Ia menyoroti ketiadaan komunikasi antara warga dan pihak Amerika yang menjalankan distribusi, serta banyaknya rintangan logistik di lapangan.

Perangkap Bantuan, Pembantaian Terbuka

Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) turut mengecam keras pembantaian ini, menyebut bahwa Israel dengan sengaja menggunakan titik distribusi bantuan sebagai jebakan maut. Ribuan warga yang kelaparan dijebak untuk berkumpul, lalu diserang secara brutal. Hamas menegaskan bahwa ini adalah wajah paling kejam dari kolonialisme modern: menggunakan bantuan untuk membunuh mereka yang sedang berharap hidup.

Pihak Hamas menyalahkan langsung Israel dan Amerika Serikat atas pembantaian ini, yang berlangsung di bawah mekanisme distribusi bantuan yang dikendalikan penuh oleh militer pendudukan.

Sejak 27 Mei lalu, Israel telah menjalankan skema distribusi melalui lembaga bernama “Gaza Relief Foundation”, sebuah entitas yang tidak diakui PBB, namun didukung penuh oleh Israel dan AS.

Kehancuran Total di Rumah Sakit Gaza

Dalam wawancara yang sama, Al-Bursh menggambarkan kondisi sistem kesehatan di Gaza sebagai bencana total:

  • Lebih dari 60% peralatan medis hilang atau rusak
  • WHO menyatakan ada 3.000 truk bantuan medis yang tertahan di perbatasan Mesir, tak diizinkan masuk
  • Gudang UNRWA di Yordania penuh dengan pasokan medis, namun juga diblokir
  • 49% rumah sakit yang masih beroperasi memiliki peralatan yang rusak berat
  • 75% kekurangan air
  • 88% tidak punya sumber listrik
  • 31% tak bisa melayani operasi gawat darurat
  • 20% tak mampu melayani layanan dasar sama sekali

Al-Bursh menegaskan bahwa apa yang terjadi di Gaza hari ini bukan sekadar krisis kemanusiaan, tapi kejahatan yang dibiarkan terjadi secara terbuka. Dunia harus memilih: diam dalam kemunafikan, atau bersuara bagi mereka yang tak lagi memiliki hak hidup—bahkan hak untuk mati secara layak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here