Di tengah bara perang yang tak kunjung padam di Gaza, angin diplomasi bertiup dari arah yang tak biasa. Sebanyak 15 negara Barat, termasuk Prancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, menyatakan kesediaannya untuk secara positif mempertimbangkan pengakuan resmi atas Negara Palestina, menjelang Sidang Umum PBB di New York, September mendatang.
Dalam pernyataan bersama, negara-negara ini menegaskan bahwa “pengakuan Negara Palestina adalah langkah penting menuju solusi dua negara.” Mereka pun menyerukan kepada dunia agar bergabung dalam gelombang pengakuan ini.
Ketakutan Israel: Simbol yang Mengandung Ancaman
Bagi Israel, langkah ini bukan sekadar simbolik. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyambutnya dengan kemarahan. Ia menyebut pengakuan atas Palestina sebagai “hukuman bagi korban”, dan mengklaim negara Palestina akan menjadi “negara jihad” yang mengancam bahkan Eropa.
Namun di balik retorika itu, kegelisahan nyata terasa. Media dan analis Israel menyebut langkah Eropa ini sebagai penanda lunturnya dukungan tradisional terhadap Israel, terutama di tengah meningkatnya kecaman global atas agresinya di Gaza, yang secara terbuka digambarkan Barat sebagai “perang pemusnahan.”
Tsunami Diplomatik
“Ini tsunami politik,” ungkap Eran Neer, editor urusan dunia di Channel 12 Israel. Meski mengakui bahwa dampak langsungnya mungkin belum terasa di lapangan, ia menekankan bahwa pengakuan ini “akan meninggalkan jejak besar dalam hubungan luar negeri Israel dan bisa membuka jalan bagi sanksi konkret.”
Ia juga menambahkan bahwa banyak negara Eropa, “tidak hanya bergerak karena tekanan pemilih Muslim mereka, tetapi juga (secara sinis) untuk menyelamatkan Israel dari kehancurannya sendiri.”
Dorongan pengakuan ini, menurut Neer, dilandasi kombinasi antara:
- Kemarahan publik terhadap penderitaan warga Gaza;
- Kebuntuan politik internasional;
- Ketakutan atas rencana aneksasi total oleh pemerintahan Netanyahu.
Baginya, pengakuan Palestina kini menjadi alat tekanan politik terhadap Israel—sebuah cara mendesak dihentikannya perang dan dibukanya kembali jalan diplomasi yang tertutup rapat.
Antara Penghinaan dan Simpati
Berbeda dengan narasi optimisme, Bernett Gurin dari situs “Zman Yisrael” menyebut pengakuan ini sebagai “penghinaan politik terhadap Israel lebih daripada kemenangan untuk Palestina.” Ia menganggapnya sebagai bentuk frustrasi dunia atas kebijakan Israel di Gaza, meski menurutnya tidak membawa bantuan nyata bagi rakyat Palestina.
Namun, Gurin juga mengakui: “Langkah ini bisa memicu pergeseran nyata dalam peta diplomatik global terkait konflik Palestina-Israel.”
Serangan Balasan: Narasi Ekstremis
Dalam artikel tajam berjudul “Negara Palestina Buruk Bagi Dunia”, mantan Duta Besar Israel untuk Italia, Dror Eidar, menyebut gagasan pengakuan ini sebagai “omong kosong.” Ia bahkan menyamakan dukungan Barat terhadap Palestina sebagai bentuk “kesetiaan paganisme khas Prancis.”
Tak hanya menyerang Palestina, Eidar juga mengkritik negara-negara Barat, memuji peran pemukim Yahudi, dan mengusulkan strategi demografis: mendorong imigrasi Yahudi dan “migrasi sukarela” warga Palestina untuk mengamankan dominasi Israel dari laut hingga sungai.
“Kedaulatan penuh dan abadi atas tanah lebih penting daripada diplomasi atau kompromi,” tegasnya menutup artikel.