Sudah lebih dari sebulan setengah sejak truk-truk bantuan terakhir diperbolehkan melintasi perbatasan menuju Gaza. Di tengah kehancuran yang tak kunjung reda, suara rintihan manusia kini tak hanya berasal dari deru bom atau reruntuhan bangunan, tetapi juga dari perut-perut kosong dan anak-anak yang kelelahan karena haus dan lapar.
Badan PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyebutkan bahwa kondisi kemanusiaan di Gaza saat ini adalah yang terburuk sejak perang dimulai. “Mungkin yang paling buruk sejak awal agresi Israel,” ungkap mereka dalam laporan terbarunya, sembari mengingatkan bahwa penghentian pasokan bantuan selama hampir 45 hari merupakan rekor terpanjang sejak konflik memuncak.
Sejak 2 Maret lalu, Israel menutup rapat semua jalur masuk ke Gaza dan melarang segala bentuk bantuan kemanusiaan. Pada 18 Maret, serangan kembali digencarkan. Tak ada lagi jeda, tak ada lagi ruang bernapas bagi rakyat Gaza, usai jeda kemanusiaan selama dua bulan yang sebelumnya memberi sedikit harapan.
Di tengah tekanan internasional, Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, justru menyatakan bahwa bantuan kemanusiaan adalah “sumber pendapatan utama Hamas di Gaza,” seakan ingin melegitimasi blokade total yang terus berlangsung.
Namun kenyataan di lapangan jauh lebih kelam dari narasi politik. PBB menyatakan bahwa selain penutupan akses, pembatasan internal di dalam Gaza membuat distribusi barang-barang penting semakin sulit. Kekurangan suplai memaksa otoritas setempat menerapkan penghematan ekstrem—apa pun yang masih bisa dibagikan, dibagikan seadanya.
Dari Brussels, suara keprihatinan datang dari Uni Eropa. Kepala Kebijakan Luar Negeri, Kaja Kallas, meminta Israel membuka kembali akses bantuan kemanusiaan dan menghentikan perluasan permukiman di Tepi Barat. Ia menegaskan solidaritas Uni Eropa terhadap rakyat Palestina yang kini menghadapi kehancuran menyeluruh di Gaza.
“Kami mengutuk pengepungan total terhadap bantuan kemanusiaan,” ucapnya.
Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 50.983 warga Palestina gugur syahid dan 116.274 lainnya terluka. Di balik angka-angka itu, ada kisah kehilangan, duka, dan kesedihan yang tak terhitung jumlahnya. Dalam waktu singkat, lebih dari 400 ribu jiwa terusir dari rumah mereka, kini terdampar di tenda-tenda pengungsian yang juga tak luput dari serangan.
Awal Maret lalu, fase pertama gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara pejuang Palestina dan Israel resmi berakhir. Kesepakatan yang dijembatani Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat itu berjalan sebagian, namun terganjal oleh penolakan Israel untuk melanjutkan ke fase kedua.
Sumber media Israel menyebut, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini juga diburu hukum internasional—mundur dari kesepakatan karena tekanan dari kelompok ekstrem dalam koalisinya.
Kini, di balik pagar-pagar kawat dan reruntuhan beton, Gaza terus menunggu. Menunggu keajaiban, atau sekadar secuil belas kasih dari dunia yang terlalu lama diam.